IMG_0033   Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan pelindungan sosial, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun pada praktiknya, kebutuhan dasar terkait kesehatan reproduksi dan seksual pada situasi darurat masih kurang mendapat perhatian dari lembaga-lembaga yang menangani bencana. Untuk membahas metode yang tepat agar kebutuhan kesehatan reproduksi dan seksual tetap dapat terpenuhi selama masa penanggulangan bencana, dilaksanakan Pelatihan Paket Pelayanan Awal Minimun (PPAM) di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, Selasa-Jumat (10-13/6). Pelatihan yang dihadiri perwakilan PKBI dari daerah rawan bencana seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Aceh ini juga diikuti oleh beberapa lembaga mitra yang turun langsung dalam menangani bencana seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Kesehatan, BPPM, UNFPA dan PMI. “Ada lima hal yang menjadi tujuan penyediaan PPAM dalam kondisi darurat, yaitu memastikan sektor kesehatan mengidentifikasi lembaga untuk memimpin pelaksanaan PPAM, mencegah kekerasan seksual dan membantu korbannya, mengurangi penularan HIV, mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal, dan merencanakan untuk pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif yang terintegrasi ke dalam layanan kesehatan dasar,” jelas Muhemi, Program Officer PMTS-GF ATM PKBI yang menjadi fasilitator pelatihan tersebut. Dalam pelatihan PPAM ini juga dibahas secara mendalam mengenai komponen-komponen yang dibutuhkan dalam paket kesehatan reproduksi seperti kit kondom, kit kontrasepsi oral dan injeksi, serta kit pasca perkosaan. Menjadi tugas bersama para pihak yang fokus pada isu kesehatan reproduksi untuk mendorong dan meningkatkan sensitivitas para pihak yang menanggulangi bencana akan kebutuhan khusus bagi perempuan hamil dan melahirkan serta bagi bayi dan balita dalam kondisi darurat,. “Dari pengalaman yang lalu, yang didirikan hanya ada posko kesehatan, sementara untuk urusan kehamilan, melahirkan, IMS, belum lagi korban yang ODHA, itu memiliki kebutuhan khusus yang sulit didapat dari posko kesehatan biasa,” ungkap Putri Khatulistiwa, peserta dari PKBI DIY. Tindakan-tindakan penanggulangan kekerasan seksual yang mungkin sekali terjadi pada kondisi darurat juga sangat perlu diperhatikan. Dalam kondisi darurat, potensi terjadinya kekerasan berbasis gender akan semakin meningkat. “Pengintipan di kamar mandi atau di tenda, pelecehan seksual di tempat sepi atau gelap, bahkan perkosaan menjadi sangat rawan,” kata Leny Jakaria, fasiliator dari UNFPA. Koordinasi dan sinergisitas lembaga-lembaga yang fokus pada isu kesehatan reproduksi dan seksual sangat penting untuk menjamin dan memastikan kebutuhan kesehatan reproduksi dan seksual pada situasi darurat dapat selalu terpenuhi. (Emil)

One thought on “Masih Minim Perhatian Isu Kespro dan Seksual dalam Situasi Bencana”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *