Bangsa ini telah menyatakan kemerdekaannya 63 tahun lalu. Ini merupakan usia satu generasi. Banyak kemajuan ytelah dicapai dalam proses hidup berbangsa dan bernegara. Kemajuan dalam bidang pendidikan, teknologi dan informasi cukup membanggakan. Meski masih timpang di sana-sini pengembangan ekonomi di negeri ini cukup menggembirakan. Bidang politik mendapatkan kemajuan cuiup signifikan, manakala diukur dari sisi demokrasi prosedural. Korupsi, meski mengalami banyak kemajuan dalam pemberantasannya, tetapi cukup lamban jika dibandingkan dengan usia kemerdekaan itu sendiri.
Setelah usia panjang dilewati, layak manakala kita melakukan kembali pemaknaan kemerdekaan itu sendiri. Apa yang diteriakkan 63 tahun lalu, sesungguhnya merupakan kemerdekaan dari intervensi fisik kolonial. Kehadiran secara wadah aktor koolonial ke negeri ini. Penyebutan identitas kebangsaan menjadi penting untuk menyatakan ketidakabsahan hadirnya kekuasaan negara lain dalam negeri ini. Itulah yang diteriakkan pada 18 Agustus 1945.
Saat ini peneriakkan kemerdekaan menjadi berwajah ganda. Secara nasional, kita harus melepaskan diri dari penjajahan psikis, sebuah metamorfosis dari penjajahan wadag, melalui kekuatan politik, militer dan ekonomi.Tingginya prevalenjsi HIV dan AIDS, merupakan instrumen yang bisa digunakan untuk melakukan intervensi po0litik, ekonomi dan bahkan teknlogi dan informasi dari negara-negara yang sedikit angka penyebarannya ke negara-negara yang konsentrasi penyebarannya cukup- tinggi. Menghapuskan penjajahan demikian, tidaklah mungkin dilakukan dengan pengakuan sebagai bangsa merdeka, melainkan harus menunjukkan kreativitas dan gagasan-gagasan yang memadai untuk menyatakan bangsa merdeka ini memang mampu melakukan segala sesuatunya dengan swadaya. Tindak korupsi menjadi bagian utama yang harus diberangus terlebih dahulu. Karena perilaku ini yang membuntungi kemampuan negeri ini untuk melakukan pemajuan dalam berbagai bidang.
Pada wajah yang lain, memaknai kembali peneriakan kemerdekaan yang diteriakkan warga negara terhadap kewajiban negara untuk melindungi hak-hak asasi warganya. Tampaknya ini bukan persoalan yang sederhana dan bahikan lebih ruwet dari gerakan pemerdekaan pada soal sebelumnya. Sikap gamang untuk melakukan tindakan terhadap berbagai kelompok yang merugikan kepentingan orang banyak, menjadi salah satu sebab musababnya. Kekerasan-kekerasan yang harus dialami sebagain kelompok, yang tidak seharusnya mereka mengalami, menjadi pandangan keseharian, dan negara tidak melakukan sesuatupun yang berarti. Nalar ‘mencari selamat’ untuk kepentingan politik formal jauh lebih diutamakan ketimbangan melakukan pemberasan berbagai pelanggaran dan tindakan kriminal.
Pembacaan ini, hendaknya bisa menjadi acuan bagi para pihak untuk melakukan sesuatu yang lebih nyata dengan mengambil momentum kemerdekaan bangsa ini. Kita semua pasti akan memberikan dukungan sepenuhnya, manakala kebijakan pemerintah memang diberlakukan untuk menjamin penikmatan hak-hak, bukan sebagai pembatasan ruang dan gerak, serta penikmatan hak-hak itu sendiri. Pemerintah, tidak lagi saatnya, membangun citra moralitas, tetapi justru melahirkan sebuah preseden hukum yang sama sekali tidak mungkin untuk ditegakkan, karena hanya untuk menyenangkan kepentingan kelompok tertentu saja. Ini yang harus bebar-benar dihindari dan tidak perlu untuk terulang kembali.[]