Pertemuan Daerah PKBI DIY 25-26 Januari 2009, Selain menyepakati soal-soal bersifat programatik. Forum ini berhasil merumuskan sikap Perkumpulan terhadap berbagai isu Kesehatan Reproduksi dan Seksual.

Di bawah tajuk ‘Memorandum Kaliurang 2009’, Perkumpulan menyatakan dengan tegas sembilan sikap Perkumpulan berkaitan dengan agenda gerakan dan perjuangan Kesehatan Reproduksi dan Seksual.

Beberapa butir penting yang pantas mendapatkan sorotan meliputi penegasan monumental bahwa persoalan Kesehatan Reproduksi dan Seksual [HIV dan AIDS] merupakan problem relasi kuasa yang timpang. Sikap ini akan mendekonstruksi seluruh rancangan program—terutama berkenaan dengan HIV dan AIDS yang selama ini masih berkutat pada asumsi problem medis semata-mata.

Tetapi yang lebih penting tentu saja sikap ini akan mampu menunjukkan kepada berbagai elemen gerakan sosial, mereka harus terlibat dalam seluruh proses agenda penanggulangan HIV dan AIDS, karena bukan semata-mata monopoli elemen yang bergerak dalam isu kesehatan.

Gerakan perempuan harus terlibat, karena perempuan yang terinfeksi HIV dan AIDS, sesungguhnya terjadi karena relasi kuasa timpang akibat ketidakadilan jender. Banyak riset pula yang sudah membuktikan, kekerasan terhadap perempuan, dominasi terhadap perempuan, memiliki sumbangan signifikan bagi perempuan untuk menjadi rentan terinfeksi HIV. Gerakan HAM menjadi harus terlibat, karena mereka yang terinfeksi juga sebagiannya merupakan kelompok yang hak-hak dasarnya selama ini terabaiakan, baik hak ekonomi, kebudayaan maupun sosialnya. Secara politik sebagian mereka juga diingkari hak-hak kewarganegaraannya.

Penegasan gerakan Kesehatan Reproduksi dan Seksual dengan membasiskan diri pada nalar perjuangan identitas merupakan koreksi terhadap cara pandang kelompok-kelompok yang selama ini terabaikan hak-hak reproduksi dan seksualnya sebagai obyek program, dan mengubahnya dengan menempatkan mereka sebagai subyek perubahan sosial itu sendiri. Dalam aras ini mungkin tidak terlalu sulit dibayangkan ketercapaiannya. Tetapi pada aras pengakuan kelompok-kelompok seperti gay, lesbian, waria, remaja jalanan dan pekerja seks, sebagai identitas kultural yang sejajar dengan identitas sosial lain, seperti etnis dan agama, bukanlah persoalan sederhana. Sikap ini menggugat secara mendasar terhadap nalar kebudayaan yang selama ini dianut, untuk menjadi cair dan berorientasi pada proses kehidupan keseharian. Akibatnya, berbagai disiplin pengetahuan otoritatif menjadi dipertanyakan kembali keabsahan rumusannya tentang kebudayaan.

Dua sikap Perkumpulan inilah yang akan membawa wacana baru dalam gerakan dan perjuangan Hak Reproduksi dan Seksual di negeri ini. Persoalannya, seberapa kuat sesungguhnya Perkumpulan mengusung gagasan baru ini sehingga mewarnai gerakan yang selama ini sudah terlanjur berbasis pada nalar medis, a historis dan a sosial? Gagasan ini membutuhkan stamina dan energi yang lebih, dan berisiko untuk terasing dalam dunianya sendiri.

Kemampuan melakukan negosiasi intelektual akan sangat menentukan ketercapaian Perkumpulan karena berbagai tantangan akan bermunculan menghadang. Tidak saja dari elemen-elemen yang selama ini bergerak bersama, tetapi juga dari elemen lain yang merasa ‘gerah’ dengan perjuangan Perkumpulan. Apalagi jika ternyata kelompok yang ‘gerah’ hadir dari kalangan agama, yang karena nalar ini, menjadi merasa tergugat. Tetapi tampaknya, Perkumpulan sudah menyadari benar, sehingga untuk mewujudkan gagasan-gagasan ini, Memorandum Kaliurang 2009, juga menegaskan pentingnya peran agamawan untuk melakukan berbagai reinterpretasi yang diperlukan.

Perkumpulan juga menegaskan pentingnya membangun aliansi dengan kalangan intelektual dan media. Karena elemen sosial ini yang akan mampu mendorong dan bahkan tidak mustahil mengarahlan opini publik berkaitan dengan gagasan-gagasan yang diudung Perkumpulan. Setidaknya, sebuah aliansi yang berangkat dari nalar setiap mereka memiliki perannya masing-masing yang signifikan, tetapi dengan terus menerus mengenalkan kepada mereka perspektif gender, seksualitas HAM [P], sehingga semakin memperkuat cara analisis mereka dalam menerjemahkan fakta-fakta sosial. Dengan demikian, pada saat fakta sosial ini tertransformasikan menjadi fakta media, ia memang menjadi adil bagi semua, bebas dari penyalahan, diskriminasi dan pengobyekan ‘yang sesungguhnya subyek analisi dan subyek berita’. Mereka menjadi kritis pada saat meletakkan subyek berita dalam konstruksi subyek berita dalam peta sistem-sistem yang berlaku.

Lebih dari kesemuanya, memorandum ini bisa menjadi pijakan bagi relawan-relawan Perkumpulan dalam menggagas, merancang dan mengembangkan agenda gerakan dan perjuangan Hak Reproduksi dan Seksual. Ia bisa menjadi panduan dalam memandang berbagai persoalan yang terkait dengan Kesehatan Reproduksi dan Seksual. Memorandum Kaliurang 2009, juga akan bisa menjadi teman dialog untuk menguji berbagai peta gerakan yang ada maupun menakar kembali berbagai teori-teori yang selama ini digunakan untuk mengembangkan gerakan dan perjuangan Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual di negeri ini.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *