Raden Adjeng Kartini, sosok perempuan ningrat asal Jepara, dinobatkan sebagai pahlawan nasional karena jasanya memberikan inspirasi bagi kemajuan hak-hak perempuan di Indonesia. Tetapi, penganugerahannya sampai kini banyak dipersoalkan, karena kontradiksi yang melekat dalam kehidupannya.
Gugatan paling mendasar, Kartini sesungguhnya tidak pernah melakukan karya nyata dalam pemajuan perempuan Indonesia. Semuanya, hanyalah merupakan cetusan-cetusan pikiran, pemberontakan-pemberontakan gagasan, yang dituangkan dalam bentuk korespondensi yang intens. Kenapa tidak Dewi Sartika dari Jawa Barat, yang memiliki karya nyata, dengan mendirikan belasan sekolah gadis ketika itu? Atau nama-nama lain, yang bisa kita perturutkan satu per satu, untuk menguji kembali keberhakkan menyandang gelar kepahlawanan.
Dalam catatan-catatan yang ada, hampir bisa disimpulkan Kartini, sosok ningrat yang hidup dalam tradisi patriarkhi tak tersentuh, menjadi perempuan yang anti terhadap poligami. Pemberontakan terhadap sistem patriarkhi ini, kemudian menjadi mentah begitu saja, manakala dirinya, kemudian harus menghadapi kenyataan menjadi istri ke-empat dari suaminya.
Lalu, apa yang diandalkan dari Kartini bagi nilai-nilai kepahlawanannya? Kita mungkin tidak terlalu bisa menemukan makna penting dari apa yang telah dilakukan Kartini bagi perempuan Indonesia. Karenanya, memang menjadi tidak relevan untuk mempersoalkan Kartini, kepahlawannya dari sisi karya nyata yang dilakukannya bagi pembebasan perempuan dari keterbelengguannya.
Kartini, harus didudukkan pada porsinya, sebagai simbol. Semangat dan gugatan-gugatan yang muncul dalam benak Kartini, merupakan inspirasi untuk menumbuhkan semangat perlawanan terhadap situasi yang membelenggunya. Lain tidak.
Persoalannya kemudian, yang penting dipertanyakan, seberapa kuatnya, pemilik gagasan-gagasan yang memberontak itu berhak menyandang gelar kepahlawanan? Ini bukan perkara pragmatis, dengan mendapatkan gelar pahlawan lantas memberikan keuntungan material dan sosial, melainkan menjadi titik balik bagi kritisisme terhadap pemberian gelar terhadap seseorang, warga negara, yang dianggap memiliki jasa yang lebih dibandingkan dengan seseorang, warga negara yang lain.
Inilah pertanyaan yang masih harus dijawab. Kita tidak hendak menduga, penganugerahan kepahlawan juga sudah dicampuri dengan intrik-intrik politis. Kita tidak juga sedang menduga, penganugerahan Kartini, merupakan trik politik yang dimainkan oleh pemegang kekuasaan ketika itu. Kita sedang menyoal, manakala kepahlawan dianugerahkan dengan keinginan politis, sesungguhnya kita sedang melekaukan pembohongan terhadap generasi bangsa ini. Itu saja.***