Beberapa waktu terakhir, kita membaca
teriakan komunitas Gay di Purwokerto mengenai pelarangan pentas
kesenian tradisional ‘Lengger” oleh Bupati Purwokerto. Respons
menarik yang kita bisa baca, pernyataan ruang kesenian tidak menjadi
perhatian utama dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang dikembangkan
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional. Pasalnya, ruang
kebudayaan, hanya berguna untuk melakukan penghapusan stigma dan
diskriminasi. Pernyataan ini menjadi penting dipersoalkan, tidak
saja, karena dilontarkan Nadiar, yang memiliki posisi berpengaruh
dalam pengembangan agenda penanggulangan HIV dan AIDS. Lebih dari
itu, pandangan seperti ini, sedang menunjukkan, sekali lagi,
penanggulangan HIV dan AIDS di negeri ini, masih dalam ruang medis
belaka.
Kasus “Lengger” dan komunitas Gay
di Purwokerto, mungkin oleh sebagian pihak dianggap persoalan kecil
yang tidak memiliki relasi apapun dengan situasi yang lebih besar.
Apalagi, tidak juga mendapatkan respons dari media massa. Tetapi,
sebaliknya, kita memandang persoalan di Purwokerto, merupakan
persoalan serius dalam kerja-kerja di wilayah kebudayaan.
Argumentasinya, karena persoalan HIV dan AIDS tidak lagi bisa
dipandang sebagai persoalan media-biologis belaka. Kerangka berpikir
ini, tidak akan selalu bosan-kita sampaikan, sehingga bisa mengubah
cara berpikir mainstream yang berjalan selama ini.
Kita perlu mengingatkan kembali, butir
(20) dalam dokumen Global Crisis-Global Action, menegaskan
secara khusus, perlunya memperluas peran penting sektor kebudayaan,
keluaraga, etik dan agama dalam penanggulangan epidemik dan dalam
CST. Kita memahami, bekerja dalam ruang kebudayaan, tidak semata-mata
penting dalam soal penghapusan stigma dan diskriminasi, melainkan
diyakini akan memiliki peran dalam keseluruhan proses penanggulangan
HIV dan AIDS.
Karenanya, kita menyerukan agar
upaya-upaya sektor kebudayaan yang dikembangkan oleh komunitas Gay di
Purwokerto, melalui kelompok kesenian “Lengger” yang dikelola
seharusnya mendapatkan perhatian dari seluruh elemen masyarakat. Apa
yang dilakukan mereka, tidak semata-mata olah seni, melainkan, sebuah
agenda kebudayaan untuk bisa menjalankan perannya secara maksimal
dalam penanggulangan HIV dan AIDS.***