Dua hari lagi, kemenangan para caleg perempuan akan ditentukan, 9
April 2009. Wacana keterwakilan perempuan akan diuji kembali. Hanya
saja, penilaian bagi keberhasilan gerakan perempuan Indonesia menjadi
lebih berat tantangannya. Deklarasi secara terbuka oleh berbagai elemen
gerakan hak-hak perempuan untuk dukung dan pilih calon legislatif
perempuan, sebagai titik uji ini. Sebuah pertaruhan politik, karena
kesemuanya akan menjadi alat penakar, seberapa besar sesungguhnya,
seruan pilih calon legislatif perempuan ini didengar, oleh kaum
perempuan itu sendiri, yang dalam klaimnya sebagai suara lebih banyak
ketimbang laki-laki maupun oleh laki-laki.

Tentu saja kita sangat
mendukung gerakan nasional ini. Kita ingin melihat secara nyata,
manakala perempuan memiliki ruang dalam konstelasi kekuasaan, memang
akan menunjukkan situasi dan keadaan yang berbeda. Kita telah lama
jenuh dengan kekuasaan yang didominasi kekuasaan berwajah patriakh.
Kita menghendaki angin baru, kekuasaan politik yang ramah terhadap
seluruh kelompok yang selama ini dipinggirkan, secara politis, ekonomi
maupun kebudayaan. Harapan semacam ini, kita bayangkan, bisa terpenuhi
manakala perempuan bisa berada dalam jumlah yang memadai di parlemen.
Kenapa kuantitas, bukan kualitas? Kuantitas menjadi penting, karena
sistem parlemen yang masih menganut suara terbanyak dalam pengambilan
keputusan manakala terjadi jalan buntu musyawarah, lobby dan negosiasi.

Meski
demikian, kita sudah sadar sejak awal. Ketika pertaruhan politik ini
belum benar-benar dimulai. Secara kuantitas sudah pasti perempuan akan
kalah adanya. Karena itu, kita mengingatkan kepada gerakan perempuan di
Indonesia. Dukungan gerakan nasional ini, harus diteruskan dengan
berbagai agenda strategis untuk terus mendukung keberadaan perempuan di
parlemen. Keberadaan yang secara kuantitas memang sedikit, meskipun
secara kualitas kita tidak pernah meragukan sama sekali.

Dukungan
ini tentu saja, tidak hanya sebatas peningkatan kapasitas untuk
melakukan perdebatan atau adu argumentasi dalam rapat-rapat pleno di
parlemen, dalam komisi maupun fraksi. Tetapi yang lebih penting lagi,
dukungan data mengenai berbagai problem dalam lini perjuangan perempuan
di negeri ini. Karena sehebat apapun argumentasinya, tanpa data faktual
maka akan lemah di ujungnya. Ini bukan sedang bersikap pengagungan pada
angka, sebab narasi persoalan penderitaan rakyat, penyisihan perempuan
dan kaum lemah yang lain, bukanlah berarti kalah kuatnya.

Kita
memandang, ilmu-ilmu sosial kita, yang tentu saja sangat mewarnai cara
berpikir para anggota parlemen, masihlah dipengaruhi oleh nalar-nalar
ilmu pasti, di mana, angka merupakan pijakan yang dianggap paling valid
ketimbang sebuah narasi. Sambil meluruskan kerangka nalar ilmu sosial
kita, menjadi sangat tepat, manakala kita mampu memberikan dukungan
data berbentuk angka kepada perempuan yang duduk di parlemen. Mereka
tidak saja harus fasih menyebut prosentasi-prosentasi, melainkan juga
pandai menampilkan angka dalam bentuk-bentuk grafik yang mudah dipahami
dan nyata untuk dibaca persoalannya.

Semuanya bukan soal yang
mudah. Banyak sumber dana yang harus dikumpulkan untuk kepentingan
jangka panjang ini. Tetapi, perjuangan kita saat ini semakin menjadi
nyata. Kita bermain dalam dunia politik-kekuasaan, dunia yang masih
didominasi oleh nalar patriarkhi, dengan seluruh watak bawaannya,
culas, korup dan mau menang sendiri.

Sekali lagi, kita semua,
harus mendukung gerakan nasional pilih calon legislatif perempuan.
Sambil kita terus mengingatkan apa saja yang mesti dilakukan gerakan
perempuan di Indonesia untuk merawatnya, setelah tanggal 9 April 2009,
dilewati.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *