Konsistensi, bukanlah sikap yang mudah
untuk sungguh-sungguh ditegakkan. Kita patut acung jempol terhadap
kebijakan yang diambil Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro, Semarang. Fakultas ini menolak semua dana bantuan atau
sumbangan dari industri rokok, untuk beasiswa mahasiswa, dosen dan
untuk sponsor semua kegiatan di kampus itu. Tinuk Istiarti, Dekan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, sebagaimana
direlease Koran Tempo (28/3), mulai tahun ajaran 2009, menolak semua
sumbangan yang diberikan pabrik rokok.
Sikap tegas semacam ini tentu saja
tidak sederhana. Apalagi kita mengetahui persis, sumber dana dari
industri rokok memang cukup besar untuk beasiswa maupun
kegiatan-kegiatan sosial lain, seperti dalam bidang seni
pertunjukkan, musik, dan juga olah raga.
Kebijakan tegas, dari sebuah unit kecil
di perguruan tinggi. Sudah saatnya sikap seperti ini menjadi bahan
pertimbangan bagi unit-unit yang lebih besar, dalam tingkat
universitas, dan kemudian meningkat pada keseluruhan unit di
masyarakat. Semua komponen masyarakat mestinya akan bisa mendukung
kebijakan yang peduli terhadap kesehatan ini.
Hanya saja, memang bukan juga menjadi
perkara yang mudah, untuk mendorong kebijakan seperti ini menjadi
bagian dari keseluruhannya. Kita akan selalu dihadapkan pada
argumentasi-argumentasi klasik di seputar wacana anti rokok untuk
mewujudkan lingkungan yang sehat. Untuk generasi mendatang yang
sehat. Sebuah seloroh, yang sesungguhnya lahir dari nalar yang
egoistis, bagaimana nasib petani tembakau, bagaimana nasib buruh
pabrik rokok, bagaimana nasib penjual eceran, bagaimana nasib negara
yang sumber pajaknya sebagaiannya juga dari pabrik rokok.
Karenanya, menurut hemat kita, sikap
anti rokok, sudah saatnya, tidak ditempatkan pada wilayah orasi,
dalam ruang-ruang diskusi mengenai kesehatan. Negara harus merumuskan
secara sungguh-sungguh piranti ekonominya, untuk mendukung kebijakan
anti rokok. Sehingga, manakala setiap tahun kita mengkampanyekan
dunia tanpa tembakau, sungguh-sungguh akan menjadi kenyataan.
Persoalan-persoalan yang ditimbulkan
dari sikap anti-rokok, harus dirumuskan pemecahannya. Seloroh tentang
ribuan buruh rokok yang akan kehilangan pekerjaannya, memang
sungguh-sungguh terbayang dalam pelupuk mata. Sumber ekonomi mereka
akan terpangkas habis, dan tentu saja akan menimbulkan persoalan
sosial yang baru. Tentu saja, termasuk keluarga petani tembakau, baik
pemilik maupun buruh taninya. Kemampuan ekonomi ini, akan mempengruhi
juga daya mereka untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak
mereka.
Dalam pemahaman seperti inilah, gerakan
anti rokok, sesungguhnya akan menjadi sebuah gerakan besar yang akan
mendorong terjadinya perubahan dalam seluruh segmen kebijakan di
negeri ini. Sebuah fenomena sosial yang akan memberikan warna baru
bagi tatanan kehidupan yang sehat bagi masyarakat. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Univesitas Diponegoro, sudah memulainya. Mereka mengambil
resiko kehilangan sumber dana untuk beasiswa dosen mereka, beasiswa
mahasiswa mereka, dan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan sosial kampus
dan mahasiswa.