Warga di sepanjang Malioboro menghentikan aktivitasnya sesaat karena perhatian mereka tersedot oleh ratusan orang yang menari-nari saat hujan deras mengguyur Yogyakarta tepat di hari Valentine kemarin (14/02/2013). Bukan tanpa alasan, aksi solidaritas One Billion Rising (OBR) ini dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat terhadap semakin maraknya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak namun penanganan yang dilakukan pemerintah masih minim.
“Satu dari tiga perempuan diperkosa dan dilecehkan secara seksual setiap harinya di dunia. Diam bukan pilihan yang tepat menyikapi data tersebut,” kata Ryan Joseph Korbari, koordinator aksi tersebut.
Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masih terus terjadi. Tahun 2012 lalu, media nasional memberitakan kasus perkosaan di angkutan umum yang terjadi di Jakarta, perkosaan terhadap siswi kelas 5 SD oleh bapaknya sendiri yang berujung pada kematian korban, pelecehan seksual yang dilakukan guru kepada siswinya di Bantul, dan kasus-kasus lainnya.
Sayangnya, pejabat-pejabat publik justru tidak memiliki kepekaan dalam melihat kasus-kasus tersebut. Misalnya pernyataan Ketua DPR, Marszuki Alie, yang menyalahkan perempuan yang berpakaian tak pantas sehingga memicu terjadinya perkosaan. Juga komentar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, yang dinilai tidak pantas saat mengomentari kasus perkosaan terhadap siswi di Depok. Terakhir, calon hakim agung, M. Daming Sunusi, yang membuat lelucon tentang perkosaan yang kemudian menuai kecaman dari masyarakat Indonesia.
Komnas Perempuan mencatat terjadi 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang 2011, dan 4.377 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Kondisi-kondisi itulah yang menggerakan pemerhati isu perempuan untuk turun ke jalan, mengajak masyarakat untuk sejenak menghentikan aktivitasnya lalu bergabung dan menari bersama kemudian menunjukkan kepada dunia mengenai kekuatan kolektif dalam menyuarakan pentingnya menghentikan kasus kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan.
Ryan mengatakan bahwa kampanye OBR ini selain untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan juga untuk mengingatkan kepada negara untuk mengambil kebijakan yang bisa lebih melindungi perempuan seperti misalnya pelayanan hukum yang ramah terhadap perempuan dan memiliki keberpihakan terhadap korban kekerasan.
Lebih lanjut Ryan menjelaskan bahwa OBR Jogja adalah bagian dari gerakan yang juga dilakukan di 210 negara lain di dunia. OBR melakukan gerakan massal menari bersama sebagai salah satu bukti bahwa setiap individu memiliki otoritas atas dirinya dan dapat bekerja sama untuk melawan kekerasan. Aksi menari bersama tersebut pertama kali digagas oleh Eva Ensier, penulis drama teater Vagina Monologues, pada 1998 untuk menyikapi meningkatnya jumlah korban perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan, sekaligus untuk memperingati tahun ke-15 Vagina Day. Selain di Yogyakarta, di Indonesia OBR dilakukan di kota lain seperti Jakarta, Bandung, Solo, Magelang, Malang, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Poso.
Selain menari sambil diiringi musik dangdut yang diputar dua gerobak gethuk, peserta OBR Jogja juga membagikan selebaran berisi nomor kontak lembaga yang bisa dihubungi jika ada warga yang mengalami kekerasan seksual. Hujan deras sama sekali tak menghalangi semangat peserta untuk menunjukkaan solidaritas mereka terhadap penghentian kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
“Tak ada yang bisa menghalagi kami bangkit meraih keadilan untuk perempuan korban kekerasan. Itu yang kami suarakan dengan menari di bawah hujan!” kata Kiki, peserta aksi.