Kriminalisasi laki-laki pelanggan atau pembeli seks adalah wacana yang bergaung dalam diskusi-diskusi penggiat HIV & AIDS di penghujung 2012. Ide ini muncul untuk menekan laju penularan HIV antara perempuan pekerja seks dan laki-laki pelanggan yang dikhawatirkan berdampak pada meningkatnya angka kasus HIV & AIDS pada ibu rumah tangga. Namun, banyak kalangan termasuk dari beberapa penggiat HIV & AIDS sendiri yang menyangsikan efektivitas dari penerjemahan ide tersebut ke dalam program penanggulangan HIV & AIDS. Ide ini dianggap justru membuat perempuan pekerja seks berada di posisi yang kembali dirugikan.
Simposium nasional yang diadakan dengan konsep live in di kawasan Sosrowijayan pada 29-31 Januari 2013 lalu diselenggarakan untuk menjembatani pertarungan wacana ini. Simposium bertajuk “Mengelola Perbedaan Menyelaraskan Gerakan dalam Isu Prostitusi” tersebut mengumpulkan berbagai unsur masyarakat dari beberapa daerah di Indonesia yang peduli pada isu pekerja seks untuk menganalisa kembali kehidupan perempuan pekerja seks .
Acara tersebut dibuka dengan diskusi pra wacana yang diisi tiga narasumber yaitu Inang Winarso, Direktur PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Pusat, Ignatius Praptoraharjo, Ph.D, peneliti dari Pusat Penelitian HIV & AIDS Unika Atma Jaya, dan Sarmi yang mewakili P3SY (Perhimpunan Perempuan Pekerja Seks Yogyakarta).
Inang Winarso mengatakan ide kriminalisasi pelanggan seks muncul karena selama ini aturan yang dibuat oleh pejabat di daerah masih bias gender dan merugikan perempuan. Misalnya peraturan-peraturan daerah terkait pembubaran prostitusi dan pemberian sanksi yang berat kepada pekerja seks. Sementara tidak pernah ada aturan yang menyasar pelanggan atau pembeli seks karena perilakunya dianggap wajar.
“Dominasi maskulinitas dan budaya patriaki membuat tindakan pelanggan yang sarat kekerasan seksual di kawasan prostitusi kerap dianggap wajar,” kata Inang.
Sementara itu, Ignatius Praptoraharjo, atau yang biasa dipanggil Gambit, mengatakan kriminalisasi pelanggan akan meningkatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap para pekerja seks. Kriminalisasi pelanggan seks tidak akan menghilangkan prostitusi dan kekerasan. Justru kemungkinannya adalah pekerja seks akan mencari tempat-tempat yang sepi atau bekerjadi bawah pihak ketiga. Risiko penyakit yang ditimbulkan akan semakin tinggi.
Menurut Gambit, melarang untuk membeli seks akan memperburuk tekanan terhadap para pekerja seks. Larangan itu berdampak pada upaya keras para pekerja seks memperoleh pelanggan karena lokasi transaksi seks menjadi berkurang. Para pekerja seks kemudian akan menurunkan tarif, bekerja lebih lama dan menerima pelanggan yang melakukan kekerasan karena posisi mereka yang semakin terhimpit.
Hal ini disetujui Sarmi yang mengatakan kriminalisasi pelanggan seks akan melemahkan posisi tawar dan pendapatan dari pekerja seks. Pelanggan yang enggan mengunjungi lokalisasi menyebabkan kondisi perempuan pekerja seks menjadi rentan. Perempuan pekerja seks tidak akan mempunyai pilihan terkait dengan upaya pencegahan dari penularan HIV. Negosiasi pekerja seks agar pelanggannya mau menggunakan kondom akan lebih sulit dilakukan.
“Kami menuntut negara memberikan perlindungan di tempat kerja kami,” kata Sarmi kepada peserta simposium. Sarmi juga menegaskan jika pekerja seks adalah memang korban kekerasan, maka polisi seharusnya menyelidiki secara menyeluruh, dan tidak hanya membiarkan pekerja seks ini pergi.
“Kami memiliki hak yang sama untuk hidup nyaman sebagai warga negara lain!” ujar Sarmi.
Selain Sosrowijayan, peserta simposium juga mengunjungi tiga titik komunitas perempuan pekerja seks di Yogykarta, yaitu Giwangan, Ngebong dan Prambanan. Di keempat titik tersebut, peserta melakukan orientasi kancah dengan berinteraksi langsung dengan pekerja seks dan bertukar pengalaman mengenai berbagai kegiatan yang dilakukan perempuan pekerja seks serta kebijakan-kebijakan yang ada di masing-masing tempat.
Gunawan, Koordinator Pengorganisasian Perempuan Pekerja Seks PKBI DIY, mengatakan setelah simposium ini akan ditindaklanjuti dengan forum diskusi untuk menyusun strategi konsep perlindungan negara bagi perempuan pekerja seks. Sebagai langkah awal, komunitas pekerja seks akan mengumpulkan data kekerasan yang terjadi di komunitas pekerja seks. Proses ini akan dibantu oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat di setiap kota.
“Data kekerasan tersebut akan digunakan sebagai bahan pembuatan policy brief perlindungan negara terhadap perempuan pekerja seks,” kata Gunawan.