Media massa mengalami perebutan
kepentingan dalam tubuhnya sendiri saat menghadapi Pemilihan Umum
2009. Penyediaan rubrik khusus yang dilakukan oleh hampir semua media
cetak, merupakan perwujudan dari pergulatan untuk melakukan apa dan
mendapatkan apa. Jurnalis menghadapi pertentangan batin antara
menuliskan laporan mengenai calon legislatif ataupun calon presiden
yang nyata-nyata memiliki rekam jejak buruk sebagai tugas dan suara
hati nuraninya yang tidak hendak melakukan pembodohan terhadap
publik. Demikian antara lain, pembicaraan yang berkembang dalam
diskusi “Rubrik Pemilu dan Kritisisme Calon Pemilih” yang
dilaksanakan LP3Y, pada Jumat ini (13/3).

Agoes Widhartono, dari LP3Y yang tampil
sebagai pembicara tunggal, menyatakan, perebutan kepentingan itu
berkaitan dengan keinginan untuk memberikan informasi mengenai Pemilu
kepada khalayak dan kepentingan untuk mendapatkan uang dalam rubrik
khusus itu. Setiap media hampir memiliki rubrik khusus Pemilu,
seperti Kompas dengan ‘Mandat Rakyat’, Republika dengan ‘Koran
Pemilu’, Koran Tempo dengan “Menuju Pemilu Bersih’, Suara Merdeka
dengan ‘Pemilu Legislatif’, dan Kedaulatan Rakyat dengan ‘Rakyat
Memilih’. “Semuanya hanya menggunakan dua kata, Pemilu atau
Rakyat,” katanya.

Ruang atau halaman khusus itu, menurut
Agoes Widharto, digunakan menampung dinamika politik yang berkembang
di tengah masyarakat. Realitas sosial berkaitan dengan partai
politik, konstituen, dan bagaimana negara selaku penyelenggara
Pemilu, diwartakan melalui berbagai sudut pandang. Selain itu,
dilengkapi dengan segala pernak-perniknya dan muncul secara rutin
setiap hari. “Belum memberikan yang lebih dari itu, informasi yang
bermakna bagi calon pemilih,” katanya.

Dalam pengamatan LP3Y, berita tentang
partai politik dan kiprah para calon anggota legislatif (caleg) serta
tata cara pelaksanaan Pemilu, menjadi porsi utama pemberitaan dalam
rubrik Pemilu ini. Bentuknya bisa dalam kemasan berita straight news
dan features. Faktanya diambil dari peristiwa seremonial atau
peristiwa teragenda. “Masih sedikit yang mengandalkan penggalian
lebih dalam atau menguak peristiwa-peristiwa fenomena,” kata Agoes
Widhartono.

Pengamatan ini juga menunjukkan rubrik
ini masih didominasi berita mengenai kiprah partai politik, lengkap
dengan dinamika masalah yang terjadi di dalamnya dan para calon
anggota legislatif (caleg) yang mengkampanyekan diri mereka kepada
khalayak. Isinya bahkan lebih condong pada tulisan semacam iklan
(advertorial) dibanding pemaparan program sang caleg yang mestinya
diketahui khalayak atau calon pemilih. Pemberita mengenai parpol,
malah didominasi keberadaan partai politik besar dan sedikit
memberitakan apa dan bagaimana partai-partai baru, yang semestinya
diberi porsi sama dengan yang lain. “Kalau pun ada, tersembunyi
melalui kutipan atau galeri pendapat,” katanya.

Kenyataan ini menunjukkan media tidak
memberi sesuatu yang mestinya dikritisi bagi calon pemilih agar
mereka bisa lebih rasional. Akibatnya, yang terjadi justru bukan
membangun khalayak kritis sebagai calon pemilih, tetapi justru
pembodohan pembaca. Misalnya, masyarakat sebenarnya mengetahui rekan
jejak calon legislatif atau calon presiden dan wakil presiden, tetapi
media massa menulisnya dengan baik-baik saja tanpa cacat. “Media
tidak akan berani menuliskan rekam jejak mereka, apalagi ada
kepentingan untuk mendapatkan uang,” kata Mukhotib MD, Direktur
Pelaksana Daerah (Dirpelda) PKBI DIY.

Jika memang menyadari media tidak
bernai menuliskan rekam jejak, setidak-tidaknya, menurut Mukhotib MD,
media memberikan jalan bagi calon pemilih bagaimana untuk mendapatkan
rekam jejak itu. “Dengan cara-cara seperti ini, media massa akan
menjadi lebih bermakna bagi calon pemilih,” katanya.

Masih tentang strategi untuk menuliskan
rekam jejak, Slamet Riyadi Sabrawi, Deputy Direktur LP3Y, mengusulkan
agar jurnalis bekerja sama dengan LSM yang bekerja untuk kampanye
anti politisi busuk, seperti yang dilakukan di Makassar. Meskipun
bukan secara langsung media massa yang melakukan investigasi rekam
jejak ini, karena melalui institusi lain, tetapi media massa telah
turut memberikan informasi yang mendidik bagi calon pemilih.

Rubrik Pemilu juga akan menjadi
bermakna bagi penguatan kritisisme calon pemilih jika tidak melakukan
pelanggengan sikap yang keliru dalam masyarakat, seperti prinsip
“terima dulu uangnya, memilih orang urusan yang berbeda.
Pelanggengan sikap seperti ini, memberikan efek negatif baik bagi
masyarakat itu sendiri maupun bagi calon legislatif. Bagi masyarakat
merupakan pelanggengan sikap memeras orang lain dan bagi calon
legislatif merupakan tindakan untuk menanm investasi dan jika kelak
terpilih, mereka akan mencari jalan untuk mengembalikan investasinya
itu.[]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *