Upaya membangun koneksitas antara gerakan HIV dan AIDS, gerakan perempuan dan gerakan HAM mulai menguat. Setidaknya, di Yogyakarta pada awal bulan Maret telah dilakukan diskusi panel untuk mengembangkan koneksitas ini, yang didukung oleh PBHI, PLIP Mitra Wacana, IHAP dan PKBI DIY. Sedang pada akhir bulan Maret, sebuah pelatihan dengan tajuk “Merespons epidemis HIV dan AIDS dengan perspektif gender, digelar pula. Kali ini dilakukan oleh Center for Health Policy and Social Change (CHPPS) yang melibatkan para pengambil kebijakan, baik di lembaga pemerintahan, LSM dan media massa. Sebegitu pentingkah koneksitas ini?
Menurut Mukhotib MD, Direktur Pelaksana Daerah PKBI DIY, persoalnnya bukanlah penting atau tidak penting. Melainkan kesadaran untuk membangun koneksitas gerakan ini akan sangat membantu proses-proses penanggulangan HIV dan AIDS. “Kalau terpisah-pisah gerakan di masing-masing sudah menunjukkan prestasi yang menggembirakan,” katanya.
Sejak awal, menurut Mukhotib MD harus disadari, gagasan membangun koneksitas antar tiga gerakan dalam mengembangkan strategi gerakan dan penguatan
program-programnya, bukanlah berangkat dari ketidakberhasilan
masing-masing gerakan, melainkan justru untuk lebih meningkatkan
cerita-cerita sukses yang lebih bersifat menyeluruh dan terjadinya
akselerasi yang signifikan dalam proses pendidikan kritis dan
penyediaan pelayanan yang adil bagi semuanya.
Gerakan koneksitas ini merupakan bagian upaya penting untuk menemukan titik
singgung di masing-masingnya. Manakala titik singgung ini dibiarkan
menjadi ‘bisu’, yang akan terjadi sebuah proses pengabaian hak secara
mendasar. Hanya saja, problem ini tidak muncul ke permukaan karena
keterbatasan alat bacanya yang sangat ekslusif dan hanya mampu membaca
problem pada dirinya, bukan untuk lintas gerakan. Penanggulangan HIV dan AIDS yang dilakukan tanpa menggunakan cara
pandang jender dan HAM, menjebak gerakan ini pada pembacaan atas
problem medis, dan meletakkan ODHA sebagai makhluk biologis
semata-mata. “Cara pandang jender dan HAM akan membantu gerakan HIV dan
AIDS untuk meletakkan ODHA dalam kerangka relasi sosial, yang kental
dengan berbagai kepentingan. Pada akhirnya akan membantu proses-proses
pemecahan masalah yang lebih kritis, karena memasukkan keterasingan
posisi ODHA dalam konstelasi berbagai kepentingan politik dan kekuasaan,” tambahnya.
Bagi gerakan perempuan, yang tidak melihat dengan cara
pandang HIV dan AIDS, sesungguhnya sedang melakukan pembiaran proses
keterpaparan virus kepada masyarakat perempuan, tanpa menyadari salah
satu hak perempuan yang harus ditegakkan adalah amannya diri mereka
dari terpapar HIV. Keterpaduan cara pandang ini, kemudian akan
memunculkan gerakan baru dengan melakukan rekonstruksi seksualitas yang
lebih kritis dan adil jender.
Sementara itu, menurut Mukhotib MD, gerakan HAM yang tidak memiliki cara pandang HIV dan AIDS dan
perempuan, menjadikan mereka terjebak pada keyakinan berbagai pemenuhan
hak asasi yang dasar seakan-akan sudah terpenuhi begitu saja, dan
meyakini negara telah melakukan pemenuhannya meskipun tanpa kontrol
mereka. Pada akhirnya, berbagai pelanggaran yang dilakukan negara dalam
pelayanan kesehatan dasar, menjadi tidak
tertengok faktanya. Seakan-akan, kematian karena keterlambatan pelayanan, sudah tidak ada lagi di negeri ini. “Ada lompatan yang luar biasa,
sehingga yang menjadi perhatian gerakan HAM adalah isu-isu besar,
seperti penghilangan orang dan pembantaian massal oleh militer,” jelasnya.