Masyarakat masih beranggapan, kelompok-kelompok tertentu seperti
pekerja seks dan kaum homoseksual sebagai penyebar HIV. Padahal semua orang memiliki
potensi yang sama untuk terinfeksi. “Selama ini kelompok gay, waria, pekerja
seks, dan remaja jalanan mendapat stigma sebagai penyebar HIV,” ungkap Nurul, Fasilitator
Pelatihan HIV & AIDS untuk Komunitas, pekan lalu.

Menurut Nurul, pemahaman salah ini menimbulkan perlakuan diskriminatif
bagi teman-teman di komunitas. Karenanya, komunitas harus memiliki pengetahuan
yang benar mengenai HIV & AIDS agar bisa menjadi aktor advokasi jika menerima
perlakuan yang diskriminatif,’ lanjutnya.

Selama proses pelatihan, peserta tampak antusias mengikuti sesi demi
sesi. Pengetahuan mereka tentang HIV & AIDS cukup luas dan prinsip-prinsip
diri agar tidak terinfeksi. “Kalau aku sudah punya prinsip untuk menolak klien
yang tidak mau menggunakan kondom. Aku sudah cukup paham tentang HIV & AIDS
dan ngeri juga ketika tahu jumlah penderita HIV semakin banyak. Aku masih ingin
menikmati hidup, jadi perlu untuk melindungi diriku sendiri,” kata Susmex,
salah satu peserta.

Nurul menambahkan, diharapkan setelah pelatihan ini, di masing-masing
komunitas dapat mengembangkan sistem monitoring perubahan perilaku, seperti
mampu mendorong teman yang mengeluh sakit untuk periksa ke Klinik Griya Lentera
PKBI, Puskesmas, ataupun rumah sakit.

Selain itu ditekankan pula tentang negosiasi kondom dengan pelanggan
pekerja seks baik pekerja seks perempuan, laki-laki, maupun waria. “Dalam satu
losmen perlu dikembangkan kesepakatan untuk menolak klien yang tidak mau
menggunakan kondom. Kemudian mereka akan mendorong teman-teman di losmen lain
untuk menerapkan komitmen yang sama. Bila hal ini dapat terlaksana, tidak
mustahil akan terlaksana program 100% kondom,” lanjut Nurul yakin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *