Pendidikan Anak dengan Konsep Kembali ke Alam

Puluhan tamu undangan dan warga memenuhi sepetak lahan di areal persawahan itu. Berbagai sesaji dihidangkan dalam beberapa tampah. Tampak serombongan anak-anak berpakaian kesenian tradisional duduk berbaris dengan tertib di pinggir panggung. Tak jauh dari panggung serombongan pemusik memainkan alat musik angklung dipadu dengan kendang. Setelah acara sambutan dari perwakilan instansi pemerintah dan perangkat desa, tetua desa memimpin rombongan menuju lahan persawahan yang sudah siap panen. Tetua desa kemudian membaca doa-doa untuk selanjutnya memotong sebatang padi yang siap panen pertanda upacara wiwit telah dimulai.

 

Upacara wiwit atau upacara panen padi tersebut dilaksanakan di desa Nitiprayan, Kasihan, Bantul, pada Rabu (25/3). Upacara wiwit merupakan ritual yang dilangsungkan sebelum masa panen. Dalam upacara wiwit ini, petani setempat bekerja sama dengan sebuah sanggar anak yang mempunyai konsep mengenalkan anak pada alam. Sanggar tersebut bernama Sanggar Anak Alam yang berdiri sejak tahun 2000. Menurut Oni, salah seorang pengelola Sanggar Anak Alam, konsep pendidikan yang dihadirkan oleh sanggar mereka berbeda dengan konsep pendidikan secara umum. ‘Di sini anak-anak tidak selalu belajar di dalam kelas. Konsep kami adalah mengenalkan anak pada alam. Anak-anak belajar dari hari Senin hingga Jumat. Setiap pagi mereka belajar di luar ruangan kemudian siang hari mereka kembali ke kelas untuk mendiskusikan hasil kegiatan pagi tadi. Setelah itu masing-masing anak akan mempresentasikan hasil diskusi tersebut. Setiap harinya kegiatan kami berganti-ganti, misalnya hari ini kami mengikuti upacara wiwit, besok kami mengikuti kegiatan pengrajin wayang kertas. Demikian seterusnya,’ ujar Oni.

 

Lebih lanjut Oni memaparkan bahwa Sanggar Anak Alam mempunyai tiga kelompok kelas, yaitu kelompok playgroup (usia 2-3 tahun), kelompok taman anak (usia 4-5 tahun) dan kelompok sekolah dasar. Hingga saat ini jumlah keseluruhan anak didik di Sanggar Anak Alam berjumlah 150 orang. Anak-anak tidak hanya dikenalkan kepada alam tetapi diajarkan pula untuk dapat menghargai alam. ‘Manusia telah merusak alam yang telah memberikan segala sesuatu yang manusia butuhkan. Teknologi yang semakin canggih justru menjadi penyumbang terbesar kerusakan alam. Keserakahan manusia dewasa semakin menjauhkan anak-anak dari alam. Pendidikan di sanggar kami bertujuan supaya anak merasa memiliki alam sehingga mampu untuk menjaga dan memeliharanya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Banyak dari anak didik kami yang sebelumnya mengalami stress karena beban di sekolah umum, setelah mengikuti kegiatan di sini menjadi sembuh dan mempunyai dunia anak-anaknya kembali. Kami juga menangani anak-anak yang hiperaktif, down syndrome, dan autis,’ tegas Oni.

 

Dengan konsep yang berbeda, Sanggar Anak Alam mampu memberikan pilihan alternatif pendidikan untuk anak. Anak-anak tidak merasa terbebani dengan berbagai tuntutan yang memaksa mereka kehilangan masanya.

 

Desi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *