Angka prevalensi penderita HIV-AIDS semakin hari menunjukkan
indikasi perbandingan yang mengkhawatirkan. Berbagai upaya pencegahan
danpenanggulan terhadap penyebaran HIV (Human Immunodeficiency Virus)
dan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome ) hingga detik ini ternyata
belum menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Kenyataan ini terungkap
dalam dialog publik, seminar setengah hari yang diselenggarakan PKBI Cabang Gunung
Kidul, di kelurahan Siraman, Wonosari, Gunung Kidul. Dalam acara seminar yang mengambil tema “Cekal HIV-AIDS Melalui Program
VCT dan PMTCT” PKBI mendatangkan tiga panelis, Nur Rasyid, S.H (DPR Kabupaten Gunung Kidul), Novianto (Menejer VCT PKBI
DIY), dan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul pada Sabtu, 12 April 2008 lalu.
Acara yang dibuka wakil bupati Gunung Kidul, Ibu Hj. Badingah, S. Sos., mendapatkan respons dari masyarakat. Tidak kurang dari 150-an peserta memadati pendopo Balai Desa. Acara seperti ini sangat dinantikan, mengingat sedikitnya lembaga sosial yang
peduli permasalahan HIV-AIDS. “Acara seminar yang
diadakan PKBI tak ubahnya bunyi pepatah: pucuk
dicinta ulam pun tiba dengan apa yang dicanangkan pemerintah daerah,” katanya dalam sambutan pembukaan.
Lebih lanjut, di hadapan peserta yang berasal dari berbagai unsur elemen masyarakat beliau berharap ke depan antara PKBI dan
Dinas Kesehatan kabupaten terbangun hubungan kerja sama yang lebih baik sinergis,
dengan demikian HIV-AIDS mampu diredam. “Pola-pola kerja seperti itu akan menjadi
sesuatu positif khususnya bagi kaum
perempuan, sebagai pihak yang paling rentan dalam kasus HIV-AIDS,” lanjutnya.
Menurut Nur Rasyid, meningkatnya populasi yang terinfeksi HIV-AIDS disebabkan banyaknya
kalangan yang sama sekali buta dengan persoalan HIV-AIDS. Dalam pengalamannya, ia menemukan banyak
anggota dewan yang sama sekali tidak tahu tentang seluk-beluk HIV-AIDS. Karena itu menurut Rasyid, upaya solutif yang harus dilakukan adalah melakukan upaya kampanye
HIV-AIDS jauh lebih keras dari yang sudah dilakukan. “Dengan begitu masyarakat sungguh-sungguh
bisa mewaspadai penyebaran virus mematikan ini,” ungkapnya.
Panelis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung
Kidul, menilai kebutaan masyarakat tentang persoalan HIV-AIDS telah
menjadikan epidemi HIV-AIDS makin menjadi-jadi. Meski dibalik semua itu menurut Dinkes, minimnya
peralatan medis, akses serta fasilitas-fasilitas penanganan HIV-AIDS. Dus, hingga saat ini penanganan HIV-AIDS
memiliki hasil yang jauh dari target yang diharapkan. “Mahalnya
biaya test untuk membuktikan terinfeksi
dan tidaknya seseorang oleh virus HIV-AIDS, sebagai salah satu
sebab makin tidak terkendalinya penyebaran penderita HIV-AIDS,” katanya.
Novianto, dengan bahasa yang berbeda bersepakat, jauh dan minusnya pemahaman
masyarakat terhadap permasalahan HIV-AIDS dari informasi yang benar, memang menjadi penyebab makin meningkatnya angka prevalensi penderita HIV-AIDS.
Ketidakmemadaian masyarakat di dalam memahami persoalan HIV-AIDS, terlihat dengan
kentalnya stigma yang berkembang di masyarakat. Mereka selalu merasa yakin, ancaman
HIV-AIDS hanya dimungkinkan bagi kelompok sosial
beresiko tinggi, seperti pekerja seks, gay dan turunannya. Padahal”Setiap individu,
baik kelompok sosial beresiko tinggi, atau pun bukan memiliki
kemungkinan sama tingginya untuk terinfeksi HIV-AIDS,” katanya.
Ketidaksadaran ini, menurut Novan, mengakibatkan proses penyebaran HIV-AIDS menjadi semakin hari
semakin tidak mampu dikontrol dan dikendalikan. Saat ini trend penyebaran HIV-AIDS ditengarai telah terjadi di kelompok masyarakat yang sering disebut bukan beresiko
tinggi.
Untuk keluar dari problem ini, menurut Novianto, jika penyebaran informasi harus mencakup seluruh kalangan masyarakat, tidak hanya pada kalangan terbatas, pada mereka yang distigma berresiko tinggi. Baginya, jika perlu, sosialisasi dilakukan pada kalangan-kalangan elit, mulai dari
anggota dewan, pemerintahan, termasuk di kalangan praktisi
kesehatan. Sebab, menurut Novan, sampai saat ini masing sering terjadi perlakuan diskriminatif terhadap mereka yang terinfeksi HIV-AIDS ketika melakukan pengobatan. “Dengan
begitu penanganan HIV-AIDS bisa bersifat sinergis, tidak simpang-siur,” harapnya.
Selain agenda penyebaran informasi, juga penting dilakukan perubahan strategi dalam penanganan HIV-AIDS. Paradigma strategi penanganan yang selama ini dijalankan, menurut Novan, bersifat terlalu pasif serta jauh dari efektif dalam menekan laju angka peningkatan populasi
penderita HIV-AIDS. Pembaharuan
penanganan ini, menurut Novan, salah satunya melakukan pemroyeksian penanganan HIV-AIDS ke
dalam tiga level advokasi, mulai dari kampanye dan pengorganisasian, dibarengi penguatan jejaring serta keberpihakan kepada kaum marjinal. Kemudian, mengupayakan lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang kondusif, serta adanya upaya
intens melakukan terapi informasi, motivasi dan ajakan untuk melakukan VCT (voluntary counseling test) dan
penghapusan stigma serta diskriminasi. “Itu artinya seluruh elemen masyarakat
ikut terlibat secara empatif dan sinergis dalam pencegahan dan penanganan
HIV-AIDS. Tanpa itu, penyebaran HIV-AIDS akan terus meningkat,
dan melahirkan problem-problem sosial lainnya yang jauh lebih pelik sifatnya,” ungkap
Novan.[]
Teguh