Aksi penolakan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.5 tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran terus digaungkan oleh beberapa pihak yang menyadari bahwa peraturan tersebut sangat diskriminatif dan dinilai cacat. Pihak-pihak tersebut akhirnya membentuk Aliansi Peduli Perempuan (ATPLP) yang terdiri dari PKBI DIY, Mitra Wacana, LBH APIK, SAPDA, IHAP serta lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi lainnya yang peduli pada isu perempuan dan hak azasi manusia. Pada hari Selasa, 24 Juni 2008, Aliansi tersebut mengadakan Diskusi Publik dengan tajuk “Perda No.5 Tahun 2007 Dalam Perspektif Agama, HAM, dan Perempuan”. Bertempat di BAJ, Dongkelan, diskusi ini menghadirkan pembicara K.H. Husein Muhammad (Pengasuh Ponpes Dar Al Tauhid, Cirebon), Kamala Chandra Kirana (Ketua Komnas Perempuan), Edy Susilo (Pansus Perda No.5 tahun 2007), Novianto (Konselor VCT PKBI DIY), dan Ani (Perwakilan Warga Parangkusumo, Bantul).
Beberapa permasalahan yang muncul setelah diberlakukannya Perda tersebut diungkapkan oleh Pantin, warga Parangkusumo, pada sesi diskusi. Pantin mengatakan bahwa sebelum adanya Perda, masyarakat Parangkusumo hidup penuh harapan karena didukung kegiatan ekonomi dan budaya yang beraneka ragam yang ditandai oleh banyaknya orang luar (Parangkusumo) yang ingin tinggal atau berkunjung ke daerah pantai tersebut. Namun setelah adanya Perda No.5, perekonomian di sana menurun drastis dan masyarakat merasa gelisah karena adanya garukan besar-besaran yang dilakukan oleh aparat. Sejumlah perempuan ditangkap, entah itu pekerja seks atau bukan. Selain itu, beberapa pemilik rumah yang dianggap menampung pekerja seks dikenai uang denda sampai 10 juta rupiah, beberapa diantaranya tanpa melalui proses hukum. Dampak ekonomi ternyata juga dirasakan oleh para supir bis dan penjual di pasar karena menurunnya jumlah kunjungan. Pada kesempatan itu pula, didengarkan rekaman kesaksian seorang perempuan yang terkena razia dan mendapatkan kekerasan secara verbal dari pihak aparat hukum.
K.H. Husein Muhammad menilai bahwa niat dan tujuan baik pemerintah Bantul tidak selalu harus diterima begitu saja. Tujuan yang baik harus juga dilakukan dengan cara yang baik. “Dalam hukum Islam, kerusakan atau penderitaan memang harus dihilangkan. Namun di sisi lain, kerusakan atau penderitaan tidak boleh dihilangkan dengan cara yang merusak atau menimbulkan kerusakan atau penderitaan yang lain.” Husein menganggap bahwa Perda No. 5 tersebut tidak layak disebut sebagai aturan atau norma hukum, tetapi lebih layak disebut sebagai aturan etika atau moral sosial. “Dalam Perda tersebut juga memuat kata-kata yang ambigu dan multi tafsir, misalnya ‘perbuatan senonoh’, tidak dijelaskan apa maksudnya. Juga ‘memikat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda atau perbuatan lain untuk melakukan perbuatan cabul’. Rumusan hukum seharusnya bersifat jelas dan pasti. Kalau bahasa hukum atau aturannya seperti ini, bisa ditafsir secara subyektif dan setiap orang bisa menunjuk orang lain melakukan hal yang dituduhkan. Ini melakukan praktek-praktek suudzon pada orang, prasangka, atau tuduhan zina yang justru dapat merugikan orang yang melakukan tuduhan jika ia tidak dapat membuktikannya,” lanjut Husein.
Sementara itu Kemala Chandra Kirana melihat bahwa munculnya perda-perda larangan pelacuran merupakan sebuah trend praktek berpolitik dalam era reformasi di Indonesia dimana para elit politik cenderung menggunakan identitas keagamaan, kesukuan, rasial dan sosial yang sesungguhnya sangat dinamis untuk menggalang dukungan dan memenangkan kekuasaan yang sebenarnya untuk kepentingan para elit politik sendiri. Hal ini muncul dari catatan review 10 tahun reformasi yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan. “Setelah mendaftar berbagai kebijakan dari tingkat lokal sampai nasional, kami melihat 29 kebijakan yang mendukung pemenuhan hak asasi perempuan. Tapi ada kebijakan yang diskriminatif karena tujuannya dan pengaruhnya. Dari 27 kebijakan baru yang diskriminatif terhadap perempuan, 17 mengatur soal pelacuran. Membuat kita bertanya, kenapa ada semacam obsesi untuk mengatur tentang pelacuran. Ketika kita membaca, definisi tentang pelacuran sangat beragam dan multi interpretasi,” demikian diungkapkan Kemala.
Kemala kemudian melanjutkan,“Setuju atau tidak kita dengan pelacuran, apapun penyebab seseorang menjadi pelacur, kita tidak bisa menolak bahwa mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dalam konstitusi kita tidak ada pengecualian apapun terhadap hak-hak yang dijamin untuk warga negara. Ketika sebuah produk kebijakan menyasar satu kelompok warga negara tertentu, yang akhirnya menjadi sasaran diskriminatif dan kekerasan, kita tetap harus melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Institusi pemerintah wajib memberi jaminan kepastian hukum.” Hal senada diungkapkan oleh Ani, perwakilan warga Parangkusumo, “Saya nggak akan menyalahkan atau memojokkan, itu hak mereka untuk jadi pekerja seks.. Kalau tentang pelacuran ada garukan, saya ngerasa kurang pas, dan itu melebar ke tempat seperti kos atau kontrakan juga. Jika kos tidak boleh padahal yang punya kos butuh uang juga. Pelacuran tidak akan pernah berhenti dan akan mencari pos yang lebih aman, dan itu juga perlu dipikirkan oleh bapak pemerintah dan satpol PP. Saya malah prihatin dendanya sampai 3 juta, pekerja seks itu penjahat atau bukan? Kenapa yang dirazia nggak yang di hotel-hotel atau losmen-losmen tapi malah ke desa? Jangan terlalu dipikirkan terlalu susah karena mereka sudah orang susah.”
Peserta diskusi yang terdiri dari warga Bantul, aparat pemerintah, dan aktivis mengharapkan diskusi ini tidak berhenti sampai pada tahap ini saja namun harus terus dilakukan dialog antara masyarakat dengan aparat pemerintah, minimal agar pemerintah tidak melakukan kesalahan lagi dalam penyusunan dan penetapan kebijakan-kebijakan yang tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat dan hanya berdasarkan kasus per kasus.
galink