Peresmian Pondok Pesantren Waria �Senin-Kemis�

’Waria itu juga manusia. Di dalam batinnya juga membutuhkan agama dan saya merasakan hal itu.’ Demikian dikatakan Kyai Hamroli dari Pondook Pesantren Mujahadah Al Fatah Yogyakarta saat meresmikan Pondok Pesantren Khusus Waria ’Senin-Kemis’, Selasa (8/7).

Lebih lanjut Kyai Hamroli menuturkan, sebagai manusia waria juga mempunyai kebutuhan rohani. Namun selama ini mereka merasa sungkan untuk mendekati ulama atau tokoh agama. Mereka masih merasa takut untuk mengikuti pengajian umum karena sebagian masyarakat masih memandang sebelah mata terhadap waria.

’Karena masih ada rasa sungkan dari teman-teman waria, maka kami yang mendekati mereka agar kebutuhan rohaninya dapat terpenuhi. Nantinya kami akan membimbing teman-teman waria untuk lebih mendalami ilmu agama. Belajar sholat, doa sehari-hari, dan membaca Al Quran. Kami tidak akan membebani mereka dengan syarat yang bermacam-macam. Terapi yang saya terapkan mungkin agak istimewa, antara lain dengan cara mengurangi tidur, sholat malam, maupun zikir di malam hari. Terapi ini harus lebih kuat agar hasilnya dapat maksimal. Saya paham bahwa hal ini tidak dikehendaki oleh mereka. Keadaan mereka sebagai waria merupakan pemberian dari Yang Kuasa dan ini adalah ujian. Saya hanya membimbing mereka untuk berdoa kepada Tuhan agar diberi petunjuk yang benar. Apakah mereka akan tetap menjadi waria atau kembali menjadi laki-laki adalah kuasa Tuhan,’ tegasnya.

Pondok pesantren ini terbuka untuk komunitas LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, dan Transgender/Transeksual) meski dalam penggunaan nama hanya khusus untuk waria. Hal ini untuk menghindari stigma dari masyarakat terhadap komunitas homoseksual yang masih enggan diketahui identitas seksualnya. Menurut Maryani, selaku Ketua Pondok Pesantren Khusus Waria ’Senin-Kemis’, komunitas gay dan lesbi juga perlu dirangkul.

’Saya pernah merasakan adanya diskriminasi dari masyarakat. Saya merasa teman-teman gay dan lesbian juga membutuhkan bimbingan rohani. Tetapi selama ini mereka merasa kebingungan mencari tempat untuk mendapatkan kebutuhan rohaninya. Maka dari itu pondok pesantren ini terbuka untuk semua.’
Awal terbentuknya pondok pesantren ini adalah adanya keinginan dari komunitas waria agar mempunyai kegiatan yang positif. Setelah melalui beberapa kali pertemuan maka disepakati untuk mendirikan pondok pesantren waria.Pondok pesantren sejenis telah ada di Surabaya dan Jakarta. Sedangkan di Yogyakarta sendiri pondok pesantren ini merupakan yang pertama.

’Kami sangat bangga karena berhasil mewujudkan cita-cita kami. Respon masyarakat sekitar juga sangat bagus. Selama ini memang sudah terjalin kerjasama dengan warga. Kami sudah sering mengadakan pengajian sebelumnya. Langkah ini juga menjadi advokasi bagi teman-teman untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara yang selama ini terabaikan. Dengan cara ini kami dapat menunjukkan kepada masyarakat, pemuka agama, dan pemerintah bahwa kami mampu melakukan hal yang bermanfaat sehingga stigma negatif yang selama ini masih melekat pada komunitas tertentu lambat-laun hilang,’ ujar Jack, selaku Ketua Panitia dan juga pengurus pondok pesantren.

Terlepas dari segala atribut yang melekat padanya, semua manusia di hadapan Tuhan sama. Seseorang tidak berhak untuk menghakimi orang lain. Saling menghargai adalah cara untuk menciptakan harmonisasi kehidupan.
Desi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *