Perempuan menjadi bagian
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jumlah perempuan di Indonesia
sebanyak 49,8% dari total penduduk 224 juta jiwa belum diimbangi oleh
keterwakilannya dalam lembaga strategis. Perempuan hanya menjadi objek
kebijakan tanpa mempunyai akses dan kontrol untuk memberikan masukan, kritik
dan perubahan kebijakan. Gambaran hasil pemilu 2004 telah menyertakan 53%
pemilih perempuan dari total 147 juta pemilih, sebanyak 32,2% caleg adalah
perempuan, namun hasilnya, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya 11,5% dan di
DPD 19,8%. Pantas, jika peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini, diusung tema Pilih Caleg Perempuan. Seruan ini dibarengi dengan pawai melintasi Jl. Malioboro, Minggu (8/3)
Elly Karyani Sulistyawati (Kaukus Politik Perempuan Indonesia
DIY) menilai, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan
gugatan uji materiil atas Pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU No 10 Tahun 2008
tentang Pemilu 2009 menghalangi affirmative
action keterlibatan perempuan dalam politik. Keputusan MK menyatakan, penetapan caleg pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem
nomor urut dan digantikan dengan sistem suara terbanyak. “Keputusan tersebut tampaknya dibuat karena adanya ketakutan akan runtuhnya
sistem patriarki karena keberadaan perempuan di kursi legislatif,” katanya.
KPPI, selain mendukung terlibatnya
perempuan dalam ranah politik, juga menciptakan para pemilih
yang cerdas, termasuk pemilih perempuan. Selama ini, partai
politik tidak melakukan tugas utamanya, memberikan pendidikan politik pada
masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, 12
caleg perempuan dari berbagai partai politik menandatangani Komitmen Politik, untuk memperjuangkan Hak Azasi Perempuan; memperjuangkan kebijakan
pengurangan angka kematian ibu; menolak poligami dan perkawinan anak;
memperjuangkan hak kesehatan reproduksi bagi perempuan dan laki-laki;
memperjuangkan anggaran yang responsif gender; menolak korupsi, kolusi,
nepotisme; menolak segala bentuk kekerasan; menolak kebijakan yang merusak
sumber daya alam; menolak segala bentuk kebijakan yang diskriminatif; dan
memperjuangkan ekonomi kerakyatan.
Mukhotib MD, Direktur Pelaksana Daerah (Dirpelda) PKBI DIY, saat dimintai komentarnya mengenai keputusan MK, menyampaikan cara pandang yang berbeda. Menurutnya, tidak tepat untuk saat ini berbicara mengenai keputusan MK tentang penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak. Ketika Pemilu 2004, tuntutannya bagaimana penetapan berdasarkan suara terbanyak, karena pada saat itu perempuan sulit mendapatkan nomor urut pertama. “Kita ngotot betul, harus berdasarkan suara terbanyak, dan kita gagal,” katanya.
Kalau saat ini keputusannya sesuai dengan suara terbanyak, mari bersama-sama merumuskan strategi jitu untuk memenangkan caleg perempuan sebanyak-banyaknya. “Supaya kita nggak ndresulo terus,” katanya.
Jaringan untuk Peningkatan
Keterwakilan Perempuan merupakan gabungan berbagai organisasi di Yogyakarta, seperti KPI DIY, Rifka Annisa, IHAP, LkiS, KPPI, LSIP, Mitra
Wacana, LAPH, Fatayat NU DIY, NA DIY, SP Kinasih, Aksara, IDEA, LAY, PKBI, PSB,
Anggana, Yasanti, RTND, dan Forum LSM.
galink