Anak dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan dengan seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban
dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Faktanya, banyak anak di Indonesia belum mendapatkan perlindungan dan haknya. Mereka seringkali mendapatkan kekerasan dan menjadi korban eksploitasi pihak yang
lebih berkuasa. Saat ini dibutuhkan upaya membangun kesadaran bersama mengenai peran dan
tanggungjawab orangtua dalam mendukung tumbuh kembang anak. Menjadi mereka pribadi mandiri. Demikian antara lain yang berkembang dalam seminar yang dilaksanakan Anjani (Pusat Studi Perempuan, Media, dan
Seni) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan tema ‘Anak, Media, dan
Masyarakat: Meninjau Kembali Kedudukan Anak dalam Masyarakat’ pada akhir pekan
lalu bertempat di Ruang Koendjono lantai 4, Gedung Administrasi Pusat Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
Seminar
menghadirkan empat pembicara, Budi Wahyuni (aktivis perempuan dan
Ketua Pengurus Harian Daerah PKBI DIY), Budi Irawanto (pengamat media dan
film), Elga Andriana (praktisi pendidikan), dan Magdalena Sitorus (Wakil Ketua
Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
Budi Wahyuni melihat peran media massa baik elektronik maupun cetak masih jauh dari harapan dalam
meningkatkan mutu tumbuh kembang anak. Media elektronik terlalu banyak
memberikan tayangan berisi kekerasan dan berpengaruh buruk pada perilaku
anak. Media tidak memberikan waktu cukup
bagi anak untuk menikmati dunianya. Mereka mendorong anak menjadi dewasa
secara instan dari proses yang sewajarnya. Acara semacam ajang pencarian bakat
justru terlihat sangat memaksakan keinginan orangtua daripada keinginan si anak
itu sendiri. “Jam belajar masyarakat yang selama ini gencar dikampanyekan
pemerintah malah diisi dengan tayangan yang tidak mendidik dan membuat anak
kecanduan untuk menonton,” katanya.
Karena
kesibukan orang dewasa di sekitarnya, televisi menjadi sahabat anak setiap
saat. Anak dengan cerdas merekam berbagai pengalaman yang ditayangkan. Melihat
fenomena perkembangan anak saat ini yang lebih cepat dewasa, sebaiknya orangtua
mendampingi dan memberikan penjelasan kepada anak ketika menonton televisi.
Jika dilihat dari sisi sosial, kehidupan yang tidak ramah terhadap anak dapat menghalangi terwujudnya relasi orang tua-anak yang
sehat dan tumbuh kembang anak yang optimal. Tingkat penghasilan yang rendah
menjadikan orang tua menghabiskan waktunya lebih banyak bekerja. Padahal keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan anak, karena mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam keluarga. Pendidikan inklusif bisa
jadi memberikan alternatif untuk pendampingan anak sebagai manusia seutuhnya
yang terdiri dari kognitif, emosi, sosial, motorik, dan rohani. Pendidikan
inklusif bisa dipahami sebagai pendidikan yang mencampurkan anak berkebutuhan khusus dan anak bukan
berkebutuhan khusus. “Pemaknaan inklusif meliputi keragaman, nilai, kultur,
sikap, bahasa yang dimunculkan oleh seluruh warga sekolah. Anak tidak
dihindarkan dari pendidikan di luar sekolah akademis namun didekatkan dengan
keragaman dan masalah,” katanya.
Desi