Tidak mudah untuk mengubah suatu paradigma. PKBI selama ini erat kaitannya dengan isu kesehatan reproduksi (kespro) dan HIV&AIDS. Isu kespro selalu dikaitkan dengan perempuan sedangkan isu HIV&AIDS dikaitkan dengan komunitas tertentu yang dianggap berisiko tinggi terpapar HIV&AIDS. Kemudian terbentuk suatu paradigma bahwa kespro dan HIV&AIDS merupakan masalah biologis dan penyimpangan perilaku seksual. Padahal masalah yang muncul sesungguhnya suatu masalah relasi kuasa akibat dari sistem sosial patriarki. Oleh sebab itu harus ada gerakan sosial yang bersinergi yaitu gerakan perempuan dan gerakan hak asasi manusia (HAM).
Ketika konstruksi seksual menempatkan laki-laki sebagai subyek dominan maka perempuan menjadi obyek penderita yang di dalam tersebut telah terjadi suatu pelanggaran hak asasi manusia. Demikian penjelasan awal yang disampaikan oleh Mukhotib M.D., Direktur Pelaksana Daerah PKBI DIY, pada acara Workshop Training Center beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Mukhotib menjelaskan bahwa aktor yang seharusnya memperjuangkan perubahan adalah masyarakat atau komunitas. Komunitas remaja jalanan berjuang menolak Raperda Penanganan Geladangan, Pengemis, dan Anak yang Bermasalah di Jalanan, atau komunitas perempuan pekerja seks yang habis-habisan menolak Perda Pelarangan Pelacuran di kabupaten Bantul. Selain itu komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender/transseksual) yang mendesak pemerintah untuk dilibatkan dalam perumusan Raperda Penanggulangan HIV&AIDS.
Dalam workshop, selain diikuti oleh staf dan relawan PKBI DIY, hadir pula beberapa pakar, antara lain Roem Topatimasang dari INSIST, Lies Marcoes Natsir dari TAF, Ronan dari LP3Y, Rozaki dari IRE, serta Asri dari Ilmu Pendidikan UNY. Tujuan diadakannya workshop Training Center ini adalah mereview kosep training center PKBI DIY dan merumuskan kosep training center PKBI DIY. Selama ini PKBI DIY melayani kebutuhan-kebutuhan pelatihan dalam isu kespro dan HIV&AIDS.
Menurut Roem Topatimasang dari INSIST, pendidikan masyarakat lebih untuk menumbuhkan kesadaran, gerakan sosial, dan perubahan sosial. ‘Kita harus banyak belajar dari pengalaman organisasi bahwa membentuk 2 sistem yang sinergis tidak sederhana. Harus lebih banyak menonjolkan isu yang substansial. Lembaga donor sekarang sudah bukan funding lagi tapi juga jadi broker. Delapan tahun terakhir saya membantu masyarakat local membangun training center. Dana dari luar hanya 10% sedangkan 90% merupakan swadaya masyarakat. Dari tempat tersebut banyak terjadi perubahan yang dapat memengaruhi kebijakan peraturan daerah.
Tetapi jangan sampai semua menjadi swadaya, kemudian pemerintah tidak melakukan kewajibannya. Ada saatnya untuk menentukan perubahan paradigma tersebut. Kapan hal itu disebut layanan dan kapan harus dibayar,’ jelas Roem.
PKBI DIY saat ini mempunyai layanan klinik yang profit dan program Youth Center yang murni pendidikan masyarakat. Diperlukan waktu cukup panjang untuk mensinergiskan profit dan non profit. Seperti dijelaskan oleh Mukhotib bahwa training center harus tetap ada di level pendidikan masyarakat. Konsep yang tertata dengan nalar lain bisa membuka peluang bagaimana ideologisasi dapat memengaruhi paradigma dalam konteks kespro dan HIV&AIDS.
Sementara itu, menurut Dr. Asri, dalam mengembangkan Training Center dibutuhkan analisis kebutuhan yang berpijak dari permasalahan di lapangan yang tidak harus menggunakan metode riset. ‘Selain analisis kebutuhan, dibutuhkan pula kemampuan untuk mengembangkan training. Pengembangan tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik sasaran.’
Dengan adanya pengembangan training center, diharapkan adanya perubahan paradigma yang lebih berpihak pada masyarakat yang masih mendapat stigma dan perlakuan diskriminatif.