Peristiwa kekerasan seksual terhadap remaja kembali terjadi, ironisnya dilakukan dalam institusi pendidikan yang seharusnya memberikan keamanan bagi murid. Kali ini peristiwa tersebut menimpa seorang siswa setingkat SMA berusia 17 tahun di Kabupaten Bantul. Remaja tersebut telah menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru olah raga di sekolahnya berinisial MY (47) hingga Januari 2011.  

 

Berkaitan dengan kasus tersebut, Kepolisan Resort Bantul didesak untuk menggunakan UU Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku. Desakan tersebut muncul dalam salah satu poin dalam konferensi pers yang diadakan oleh LBH Yogyakarta, PKBI DIY, dan Mitra Wacana WRC (11/4). Pihak kepolisian menggunakan pasal 281 KUHP sebagai acuan, namun diakui pasal tersebut masih terlalu umum dan mengabaikan status korban sebagai anak. Oleh karena itu sesuai asas lex speciali derogat lex generali, maka sudah selayaknya pelaku juga dijerat oleh UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 4, 13, 59, 69, 81, dan 82. Dalam pasal-pasal tersebut diatur hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual dan bentuk-bentuk perlindungan hingga sanksi hukum yang dapat diberikan kepada pelaku.

 

Menurut Kiki dari LBH Yogyakarta, Kanit PPA Polres Bantul akan menggunakan pasal tersebut dalam pengembangan. Namun, diharapkan pasal tersebut sudah dikenakan sejak awal, karena jika tidak demikian maka korban jelas akan dirugikan.

 

Peristiwa ini bermula sekitar bulan Oktober 2010. Saat itu korban berada di ruang penyimpanan alat-alat olah raga sekolahnya dan mendapat kekerasan seksual. Perlakuan tersebut kembali diulangi MY di ruangannya dan UKS. Korban dapat memberontak dan melepaskan diri ketika berada di ruang guru, tetapi saat di UKS korban tidak dapat melawan karena sedang pingsan akibat kelainan pembuluh darah yang dimilikinya. Hal yang patut dipertanyakan adalah mengapa pihak sekolah sempat membiarkan seorang guru laki-laki merawat siswi perempuan di suatu ruangan yang dilaporkan sempat dikunci dari dalam. Setelah ketiga peristiwa tersebut, korban berinisiatif mengadukan kejadian yang menimpa dirinya ke Mitra Wacana pada pertengahan Januari lalu. Lembaga ini tidak memiliki konseling untuk remaja sehingga meneruskan pengaduan korban ke PKBI DIY yang akhirnya turut melibatkan LBH Yogyakarta. Selanjutnya kasus ini dilaporkan ke Polsek Pleret Bantul pada bulan Februari 2011 dan akhirnya dilimpahkan ke Kepolisian Resort Bantul.

 

Pihak sekolah terkesan tidak serius menanggapi kasus ini bahkan cenderung tidak berpihak kepada korban. Setelah pihak Mitra Wacana, PKBI DIY, dan LBH Yogyakarta terlibat, guru yang bersangkutan dibebaskan dari tugas-tugasnya. Menurut Vena, konselor PKBI DIY, korban sebelumnya sudah melaporkan kejadian ini ke guru BK di sekolah, namun tidak mendapat respons positif. Bahkan beberapa kali pihak sekolah mendorong korban untuk menyelesaikan kasus ini secara tertutup dan tidak membiarkan pihak-pihak di luar sekolah untuk tahu dan membantu. Tetapi juga tidak ada tindakan tegas bagi pelaku. “Jadi ada semacam pembiaran dan justru sekolah cenderung tidak mempercayai aduan dari korban,” terang Venusia. Melihat perkembangan tersebut, korban dengan ketetapan hati menempuh jalur hukum.

 

Langkah-langkah yang sudah ditempuh antara lain adalah mengadakan mediasi dengan pihak sekolah agar menjauhkan pelaku dari korban yang ternyata bertempat tinggal tidak jauh dari rumah korban. Sebelumnya, pihak sekolah sempat mengadakan mediasi antara korban dengan pelaku, namun dengan cara yang tidak sesuai. Saat itu korban dan pelaku hanya dipertemukan dalam sebuah ruangan tanpa ada pendampingan.  Selain itu, sekolah diharapkan tetap memberi kesempatan korban untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak didik secara penuh, termasuk tetap memberi bantuan pendidikan yang selama ini diterima korban.

 

Selain itu, sangat disayangkan pihak Kementrian Agama Provinsi DIY sebagai lembaga yang menaungi sekolah tersebut tampak tidak berpihak kepada korban. “Pihak sekolah dan Kementrian Agama DIY sama sekali tidak berpihak dan tidak berspektif terhadap korban dalam penanganan kasus ini. Malahan Kementrian Agama DIY sempat menolak keberadaan kuasa hukum yang ditunjuk oleh si korban,” kata Wahyu Tanoto, pendamping korban dari LSM Mitra Wacana.

 

Hal senada diungkapkan oleh Kiki dari LBH Yogyakarta. “Ada pertanyaan-pertanyaan yang cukup intimidatif, melukai perasaan, dan menimbulkan trauma pada korban,” jelasnya di kantor LBH Yogyakarta.

 

Hambatan lain adalah intimidasi oleh pihak kuasa hukum pelaku terhadap korban, saksi-saksi, bahkan terhadap pihak Mitra Wacana. Penasihat hukum pelaku bersama Kepala Dukuh setempat juga sempat mendatangi rumah korban untuk mendesak menyelesaikan kasus ini secara tertutup. Selain itu, pendekatan yang dilakukan kuasa hukum pelaku dirasa mengganggu proses pemanggilan saksi-saksi. Sampai ada saksi yang mengundurkan diri lantaran ditakut-takuti oleh kuasa hukum korban. Di sisi lain, pembuktian kasus seperti ini memang sulit. “Perlu energi yang lebih atau keberanian yang lebih dari Polres Bantul untuk mengusut kasus ini, karena pembuktiannya tidak mudah, dan karena peristiwa pencabulan itu hanya diketahui korban dan pelaku,” jelas Kiki. “Mencari saksi yang melihat langsung persitiwa itu tentu sangat sulit. Visum juga tidak diwajibkan dalam kasus seperti ini,” lanjutnya.  Namun, poin utama yang ingin dicapai adalah memang penerapan UU No 23 untuk menjerat pelaku.

 

“Dari pengakuan korban dan hasil pengamatan, korban kalau bertemu dengan laki-laki jadi merasa tidak nyaman. Lebih senang bicara dan berada dekat dengan sesama perempuan. Dan sikap itu terhadap laki-laki siapa saja, baik yang sudah dikenal seperti teman sekolahnya maupun yang belum dikenalnya,” terang Venusia. “Lalu sepanjang pendampingan selama ini, korban selalu mengeluh karena harus bertemu dengan pelaku, baik di lingkungan sekolah, rumah, maupun di lingkungan kampung. Korban mengeluh karena seringkali sikap atau cara menatap pelaku membuat korban tidak nyaman. Korban juga mengalami kelelahan fisik maupun mental, seperti saat ia memberikan kesaksian ke berbagai pihak, apalagi beberapa kali ia tidak didampingi kuasa hukum. Ini kan jadi berat bagi korban,” terangnya lebih lanjut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *