Perjalanan program Keluarga Berencana (KB) telah melewati beberapa tahapan perubahan konseptual. Pada tahapan awal, KB merupakan sebuah cara yang ditujukan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang terjadi sangat tinggi pada tahun 50-60-an diakibatkan oleh kondisi kesehatan perempuan yang sangat minim. Nalar ini digunakan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) sebagai lembaga pelopor program KB di Indonesia.
Tahun 70-an, ketika negara sudah memasukkan KB sebagai program pemerintah lewat BKKBN, sebelumnya LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional), konsep KB akhirnya lebih bernuansa untuk mengendalikan jumlah penduduk, dengan strategi pengurangan junmlah kelahiran. Pada masa ini, keberhasilan program KB di Indonesia telah diterima dan diakui oleh masyarakat luas, termasuk dunia internasional.
Pada awalnya, program KB negara adalah untuk mengatur jumlah kelahiran, namun dalam perkembangannya, program KB ditujukan untuk membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Asumsinya ialah bahwa keluarga kecil akan dapat hidup sejahtera dan bahagia, sehingga pengaturan kelahiran menggunakan kontrasepsi menjadi pokok intervensi dalam program KB nasional.[1]
Pada GBHN 1999 ditegaskan bahwa selain pengendalian kelahiran dan penurunan kematian, diperlukan peningkatan kualitas program keluarga berencana agar terwujud penduduk Indonesia yang berkualitas. Dengan demikian sangat tepat apabila dalam paradigma baru program KB difokuskan pada upaya-upaya baru yang lebih efektif untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Sebagai perwujudan pelaksanaan paradigma baru program KB nasional yang sesuai dengan GBHN, 1999, maka visi mewujudkan NKKBS telah diganti dengan “Visi Keluarga Berkualitas tahun 2015”. Paradigma baru sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hal-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Keluarga adalah salah satu di antara kelima matra kependudukan yang sangat mempengaruhi perwujudan penduduk yang berkualitas.
Tahapan ini mencatat sebuah nalar peralihan penting dalam konsep KB dari dorongan atas kontrol atau pengendalian menuju nalar perencanaan yang dilakukan dengan memperhatikan hak-hak reproduksi penduduk. Konferensi kependudukan dan pembangunan internasional (Internatioan Conference on Population and Development) atau lebih dikenal sebagai ICPD ke-4 yang diselenggarakan di Kairo menjadi sebuah tonggak pengembalian konsep KB kepada aras kesehatan reproduksi. KB tidak lagi semata soal pengendalian dan penggunaan kontrasepsi, melainkan jauh sampai kepada derajat kesehatan reprpoduksi dan investasi modal manusia untuk pembangunan.
Sebagai tindak lanjut dari komitmen Indonesia dalam forum ICPD, Kairo, 1994, telah diselenggarakan Lokakarya Nasional Kesehatan Reproduksi pada bulan Mei 1996 di Jakarta yang melibatkan seluruh sektor terkait, LSM termasuk organisasi perempuan, organisasi profesi, perguruan tinggi serta lembaga donor. Dalam Loknas ini disepakati 7 ruang lingkup Kesehatan Reproduksi yang salah satunya adalah KB. Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.[2]
Dari sekian lintasan dan tahapan sejarah peralihan konsep program KB, kelompok umur remaja tidak pernah dilibatkan secara serius di dalamnya. Usaha pernah dilakukan PKBI pada tahun 70-an awal yang mengusung program “Biduk Kencana Remaja” dengan dorongan isu pelibatan remaja dalam program KB. Akan tetapi dorongan ini tidak mendapatkan sambutan yang memadai dari negara.
Remaja ditempatkan di sudut lintasan program dengan beban dan tugas perkembangan yang sepenuhnya diisi dengan dunia pendidikan formal. Hampir tidak bisa ditemukan program yang disengaja didesain untuk remaja yang memfokuskan kepada persoalan reproduksi atau keluarga berencana. Yang terdeteksi hanyalah program Pendewaasaan Usia Perkawinan (PUP) yang dalam banyak hal tidak berjalan karena terkendala oleh UU Perkawinan (1/1974) yang membolehkan perempuan menikah pada umur 16 tahun, dan laki-laki 19 tahun.
Dalam konteks ini, remaja tidak pernah secara sengaja dibuatkan sebuah program untuk mampu mengakses informasi yang benar tentang reproduksi dan seksualitasnya. Alih-alih, remaja justru dijauhkan dari dunia seksualitas dan reproduksi dengan dalih “tabu” dan “belum saatnya”. Menerobos rintangan struktural bagi remaja dalam mengakses informasi dan layanan kesehatan reprpoduksi, beberapa lembaga non pemerintah, sepeti PKBI, menjalankan program kesehatan reproduksi remaja termasuk di dalamnya pendidikan tentang KB. Di luar intervensi oleh lembaga-lembaga ini, proses akses remaja ke arus informasi seputar seksualitas, reproduksi dan KB terjadi dengan “ketidaksengajaan” atau karena manouver oleh remaja sendiri.[3]Dalam bahasa Iwu Dwisetyani Utomo, negara masih memperlakukan remaja sebagai bukan makhluk seksual (as non sexual beings).
Bagian ini akan mengulas jejak program KB di dalam relung bathin dan ruang persepsi remaja. Di bawah, akan terdeteksi beberapa jejak program KB yang masih tersisa di ruang perspesi dan pengetahuan remaja yang seringkali lahir dari ruang “ketidaksengajaan”. Di akhir bagian ini, akan coba diulas tentang pentingnya pendidikan KB dan pemberian informasi yang benar tentang alat kontrasepsi kepada remaja, tanpa harus ditakutkan sebagai “mengajarkan Hubungan Seks pra nikah”.
[1] UNFPA, Depkes, BKKBN, Depsos, Depdiknas, dan MenegPP, Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia, 2005, hlm. 34
[2] Ibid, hlm. 17 – 19
[3] Maesur Zaky, Konstruksi Seksualitas Remaja dan Agama : Studi Kebudayaan atas Mekanisme Disiplin Tubuh di Sekolah, tesis Pasca Sarjana pada Program Center For Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), UGM, , tidak diterbitkan, 2004.