Di tengah berbagai kekhawatiran berkaitan dengan terus meningkatnya
prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia dan berbagai kekarut-marutan
respons pemerintah dalam agenda penanggulangannya, cukup menggembirakan
lahirnya Jaringan berskala nasional bagi teman-teman yang terinfeksi
HIV, Jaringan Orang yang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI). Karenanya,
layak untuk mengucapkan selamat datang, kepada organisasi komunitas
yang memiliki basis kepentingan yang jelas.

Meski, jaringan
semacam ini bukanlah hal yang bisa dibilang baru, karena dalam catatan
yang ada, di Yogyakarta pernah berdiri Jaringan ODHA Yogyakarta (JOY),
dengan basis kepentingan yang sama jelasnya. Perbedaannya, terletak
pada situasi sosial-politik yang berbeda, sehingga tuntutan-tuntutan
yang akan dikembangkan bisa jadi juga akan mengambil bentuk yang
berbeda.

Persoalannya kemudian, bagaimana JOTHI akan bisa
mengartikulasikan berbagai gagasan-gagasan besarnya, sehingga mampu
tertangkap dengan baik dan tentu saja mendapatkan sambutan yang baik
pula dari berbagai kalangan di negeri ini, termasuk dari kalangan orang
terinfeksi HIV itu sendiri, yang merasa dirinya diwakili, baik mereka
yang terlibat dalam seluruh proses perumusan maupun yang merasa bersatu
dalam kesamaan kepentingan dan kebutuhannya.

Kita memang
meletakkan harapan yang amat besar terhadap JOTHI untuk bisa memberikan
sumbangan pikiran, dorongan kerja, dan berbagai perancangan program
untuk penanggulangan HIV dan AIDS di negeri ini. Apa yang harus
dilakukan untuk pertama kalinya, dan tentu saja ini menjadi sangat
menentukan langkah selanjutnya, memastikan apa yang dilakukan negara
berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS, terutama dalam pemberian
layanan terhadap orang terinfeksi HIV, bukanlah dalam skema nalar belas
kasihan, melainkan memang menjadi tanggung jawab negara sebagai bagian
dari pemenuhan hak-hak kesehatan warga negaranya.

Jika persoalan
ini belum jelas benar dan belum mapan pada nalarnya yang lurus, maka
kemungkinan penolakan kehadiran JOTHI sebagai salah satu bentuk
organisasi yang sejajar dengan berbagai organisasi lain, baik institusi
pemerintah, NGO maupun sektor swasta, sangatlah besar. Ambil contoh,
manakala JOTHI salah satu perannya hendak menjadi watch dog dalam
seluruh proses penganggaran yang berkaitan dengan penanggulangan HIV
dan AIDS, kehendak baik ini bisa berbalik membuahkan sebuah statemen
sederhana yang menyakitkan, “dibelaskasihani kok nganeh-anehi.”

Upaya
ini bukan persoalan sederhana untuk dilakukan. Perlu diagendakan
semacam ‘sosialisasi’ mengenai organisasi JOTHI, visi dan misinya,
agenda-agendanya, sehingga semua pihak akan memahami dengan sebenarnya.
Bisa mengerti akan makna penting kehadirannya, dan akan menjadi
tanggung jawab semua komponen yang peduli terhadap penanggulangan HIV
dan AIDS di negeri ini, untuk menjaga keberlangsungan JOTHI di masa
mendatang.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *