Proses Sosialisasi Gender dan Seksualitas Laki-laki dan Perempuan
Sebelum tahun 1950-an, seksualitas merupakan area kajian yang didominasi disiplin biologi dan psikologi. Dalah Kinsey yang mula-mula memasukkan seksualitas dalam kajian sosial (golombok & Fivursh 1994 : 137 – 139). Sejak saat itu, seksualitas masuk dalam wilayak kajian ilmu-ilmu sosial.
Van haren (1999 : 15) dan Moore (1993 : 84) menegaskan keterkaitan antara seksualitas dan pemaknaan-pemaknaan sosial. Mamahami seksualitas dalam kerangka pendakatan konstruksi sosial, semakin menjelaskan posisi wacana seksualitas berhimpitan dan bahkan beririsan dengan konstruksi gender.
Wacana dan pemikiran tentang seks menurut Moore adalah kontruksi tentang proses-proses stereotyp-stereotyp dan dibiasakan yang mana dengannya mnusia berpeilaku seksual, dan kemudian menjadai anggapn sosial secara umum.
Bagi Hekma (1994 : 8-9) seksualitas merupakan hak khusus (privasi) laki-laki yang selalu mengekspresikan dominasinya atas perempuan. Hal ini misalnya terlihat dalam posisi berhubungan seks. Walauapun hubungan seksual lebih sering dianggap sebagai tindakan yang alamiah, akan tetapi hal itu menurut beberpa teorikus juga masuk dalam wilayah konstruksi gender. McFdden, misalnya, mengatakan bahwa posisi konvensionl dalam hubungan seks di mana laki-laki berada di atas dn perempuan di bwah, menunjukkan konstruksi sosial yang ter-gender-kan. (Van Haren 1999 : 12).
Banyak gagasan tentang seksualitas yang lahir dari asumsi “wacana doronbgn seksual laki-laki”. Asumsi ini lahir dari pemikiran bahwa perempuan adalah pelampiasan nafsu seks laki-laki. Pemikiran mengandaikan relasi seksualitas yang tidak seimbang seimbang antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki sebagai subyek perilaku seksual dan perempuan sebagai obyek.
Dengan kata lain, dalam menanggapi persoalan seksulitas laki-laki lebih bisa bersikap dan bertindak aktif, sedangkan perempuan lebih pasif. Anggapan ini bisa lebih jauh berimplikasi pada aman atau tidaknya suatu pewrilaku seksual. Peremp[uan yang dianggap tidak berkepentingan dalam seks, karena dia adalah obyek dan subyeknya laki-laki, akan merasa kesulitan untuk menunjukkan keinginan mereka menikmati seks yang aman dan seimbang. Laki-lakilah yang mengontrol seks, dan akhirnya aman atau tidknya sebuah perilaku seksual ditentukan oleh pemegang kontrol. (Harding 1998 : 21).