Ketimpangan Gender dalam Dimensi Ekonomi

Konstruksi sosial yang menempatkan wanita dalam struktur subordinat dalam sektor tertentu, telah menjadi penghalang utama bagi wanita untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik.[1] Struktur yang timpang, yang menempatkan laki-laki pada ujung yang satu dan wanita pada ujung yang lain suatu garis vertikal, telah mempedakan wilayah-wilayah ekspresi dimana wanita dan laki-laki terlibat. Perbedaan pekerjaan semacam ini telah memberi basis kekuasaan pada laki-laki,[2] yang secara langsung menegaskan superioritas laki-laki dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Dua hal dapat disebutkan berkaitan dengan ketimpangan gender semacam ini. Pertama, pekerjaan-pekerjaan marginal yang dikerjakan oleh wanita dapat dilihat sebagai akibat dari proses identifikasi wanita terhadap apa-apa yang sesuai dengan sifat kewanitaan seperti yang sudah dikonsturksikan secara sosial. Identifikasi ini merupakan proses pemaknaan diri dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan wanita sehingga berbagai faktor diperhatikan di dalamnya. Keterlibatan dalam kegiatan ekonomi yang marginal karena itu merupakan hasil dari suatu proses interaksi dan negosiasi di mana wanita sendiri aktif di dalamnya. Dalam perspektif semacam ini kemudian ketimpangan gender tidak lain merupakan pilihan wanita, bukan pemaksaan terhadap wanita.[3]

Hal ini sejalan dengan definisi “menjadi wanita” yang dinilai sama dengan menjadi istri atau ibu rumah tangga. Berninghausen dan Kerstan menanyakan ”ciri-ciri apa yang harus dimiliki oleh seorang wanita yang baik” kepada 94 wanita disebuah desa.[4] Hanya enam responden yang mengatakan bahwa seorang wanita harus mencari uang. Yang lain menjawab wanita harus menjadi ibu yang baik (54) orang), seorag istri yang baik dan patuh (27 orang), dan seorang ibu rumah tangga (17 orang). Peran domestik sangat ditekankan oleh wanita desa, meskipun ini tidak menggambarkan apa yang sesungguhnya mereka kerjakan sebagai wanita desa. Wanita desa melakukan peran yang kompleks karena ia terlibat dalam kegiatan rumah tangga, kegiatan ekonomi (dalam pertanian, industri, atau perdagangan kecil-kecilan), sekaligus kegiatan-kegiatan sosial.[5] Namun demikian, peran domestik wanita mendapatkan penekanan yang cukup kuat oleh wanita sendiri. Dan ini merupakan pilihan yang secara sosial mendapatkan pengesahan.

 

Kedua, berbagai proses telah mereproduksi sifat kewanitaan dan kenyataan tentang pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat kewanitaan tersebut. Tingkat absensia wanita yang tinggi (karena wanita membutuhkan cuti hamil dan melahirkan) seringkali dijadikan alasan untuk tidak memilih tenaga kerja wanita atau untuk menempatkan wanita dalam pekerjaan marginal.[6]

Citra kehalusan dan ketelatenan yang menjadi ciri khas wanita telah pula digunakan sebagai “alasan” untuk memberikan pekerjaan-pekerjaan marginal. Pekerjaan yang berkaitan dengan “mesin” tetap saja menjadi bidang yang diasosiasikan dengan laki-laki. Dengan cara ini kembali ditegaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan wanita bukanlah pekerjaan yang membutuhkan keahlian sehingga wanita layak mendapat upah yang rendah. Hal ini merupakan penegasan dari oposisi biner yang membedakan pria/wanita, kultur/natur, positif/negatif, analitis/intuitif, rasional/emosional, yang hidup dalam pikiran manusia dan tanpa disadari menjadi bahan pertimbangan dalam rekruitmen tenaga kerja.

Pekerjaan marginal diasosiasikan dengan sifat-sifat tersebut, seperti sifat halus dan telaten sehigga pekerjaan-pekerjaan yang diberikan adalah pekerjaan yang kurang penting atau berupah rendah. Meskipun wanita memiliki keahlian tertentu, tidak berarti bahwa ia akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya karena suatu ideologi yang mempengaruhi suatu cara pandang, yang melihat wanita sebagai suatu kategori yang homogen, yang secara langsung diasosiasikan dengan pekerja kasar meskipun sebagian dari mereka memiliki keahlian yang tinggi.[7]

Dalam proses selanjutnya partisipasi wanita tidak hanya mengalami proses marginalisasi, tetapi juga terganggu oleh penggusuran keberadaan wanita dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu. Hal ini ditandai oleh proses maskulinisasi, di mana pekerjaan yang semula didominasi oleh kaum wanita lambat laun dikerjakan oleh laki-laki.[8]

Ketimpangan gender sesungguhnya ditegaskan terus menerus struktur sosial yang patriarkal, laki-laki, dan wanita. Wanita cenderung “mengalah” pada suami dalam suatu struktur hubungan. Tindakan ini merupakan tindakan pemeliharaan hubungan yang harmonis yang sekali lagi menegaskan bahwa wanita tidak memandang kegiatan ekonomi sebagai dunia wanita. Dunia wanita tetap rumah tangga sehingga menjadi wanita ideal adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik.[9] Apa yang ditulis dikulit belakang buku La Rose menunjukkan ekspresi umum tentang kegelisahan dan penfarian sosok wanita :

Masalah yang dihadai kaum wanita kian hari semakin banyak semakin sulit semakin rumit semakin kompleks. Karena wanita harus ada dimana-mana, di pabrik, di kantor, di dalam organisasi sosial, bahkan di posisi penting pemerintahan; sementara letak dasar wanita paripurna harus tetap di dalam rumah tangga, di samping suami, di jangkauan anak-anak tercinta, di lingkungan keluarga, di ajang pergaulan sesama manusia. Justru di situ letak masalah, kian hari, kian banyak persoalan yang dihadapi, wanita cenderung kian lalai pada fitrahnya.[10]

Dari sini jelas bahwa laki-laki dan wanita sama-sama secara aktif merproduksi ketimpangan gender, karena mereka sama-sama memitoskan ketimpangan. Ketimpangan gender disini ternyata tidak hanya menyangkut dikhotomi wanita dan laki-laki, tetapi wanita dan lembaga-lembaga sosial, wanita dan pemerintah, wanita dan pelaku-pelaku ekonomi

Ketidaksetaraan jender adalah sebuah isu internasional. Laporan UNDP mengenai perkembangan manusia (The UNDP Human Development Report) pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa perempuan melakukan 75% dari seluruh pekerjaan, namun hanya memperoleh 10% pendapatan serta hanya memiliki 1% hak milik properti. Sejumlah 70% perempuan tergolong miskin dan angkla buta huruf perempuan mencapai 60%. Dalam laporan yang sama untuk tahun 2000, GDI (Gender-related Development Index) dan Gender Empowerment Measurement (GEM) Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174 negara yang diukur, dan lebih rendah dari negara-negara ASEAN lainnya.

[1] Chafetz, Op. cit. hlm. 75

[2] Dalam hal ini tidak dipertanyakan apakah dominasi laki-laki ditolak atau diterima oleh wanita. Dapat saja terjadi bahwa wanita menerima karena menganggap sebagai suatu realitas yang sah. Penolakan dapat berbentuk konflik hubungan dari proses-proses sosial.

[3] Pada tahap awal pamaksaan dapat saja terjadi, namun pemaksaan itu belum berarti bahwa wanita terpaksa melakukannya. Wanita melakukan sesuatu karena alasan-alasan yang jelas dan sikap tertentu yang juga jelas bagi wanita sendiri.

[4] Jutta Berninghausen dan Birgit Kersten, Forging New Paths: Feminist Social Methodology and Rural Women in Java (London, dan New Jersey: 2ed Books Ltd, 1992), hlm. 39

[5] Lihat Irwan Abdullah, Wanita Bakul di Pedesaan Jawa (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, 1991).

[6] Seringkali terjadi bahwa wanita tidak memperoleh jaminan untuk mengambil cuti hamil dan melahirkan dari perusahaan di mana mereka bekerja. Pada saat wanita kembali bekerja setelah melahirkan, dalam banyak kasus mereka tidak dapat diterima kembali sebagai karyawan atau buruh karena telah digantikan posisinya oleh orang lain. Mobilitas tenaga kerja wanita yang tinggi dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menekan upah karena faktor masa kerja tidak mejadi unsur penting dalam situasi tersebut.

[7] Lihat Rita Kelly, The Gendered Economy: Work, Careers, and Succes (London: Sage Publication, 1991); John Humphrey, Gender and Work in the Third World (London & New York: Tavistock Publiccation, 1987(; Maria Mies (ed), Women : The Last Colony (London & New Jersey: Zed Books Ltd, 1998)

[8] Perdagangan di pasar-pasar yang dianggap bidang feminin, secara perlahan-lahan mulai dimasuki oleh laki-laki. Demikian pula pekerjaan-pekerjaan pemetikan teh yang dimulai tampak keterlibatan laki-laki di dalamnya. Maskuliniassi ini antara lain merupakan tanda dari kesempatan kerja yang terbagas sementara tekanan ekonomi keluarga semakun berat.

[9] Enggawati Tedjakusuma, Op. cit,Beninghausen dan Kerstens, Op. cit.

[10] Lihat La Rose, Dunia Wanita (Jakarta: Garuda Metropolitan Press, 1985)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *