Keberlangsungan program pencegahan HIV
dan AIDS tetap akan menjadi problem serius di masa depan. Belum
seriusnya para pemimpin negara dalam melakukan upaya-upaya
penanggulangan HIV dan AIDS merupakan salah satu faktor serius,
termasuk permasalahan stigma terhadap mereka yang terinfeksi HIV.
Proses pembelajaran dan saling tukar pengalaman antar berbagai negara
di dunia belum mendapatkan fasilitasi memadai. Secara teknis akses
terhadap antiretroveral treatment juga masih terbatas. Demikian
antara lain problem yang hangat didiskusikan pada pelaksanaan
International Conference on HIV/AIDS and STI’s in Africa ke-15 (ICASA
2008) di Senegal, Afrika Barat, yang berlangsung tanggal 3-7 Desember
2008.
Konferensi diikuti lebih dari 10.000
peserta berasal dari berbagai penjuru dunia, baik dari delegasi
pimpinan negara, aktivis penanggulangan HIV-AIDS, masyarakat sipil,
maupun komunitas terinfeksi HIV dan AIDS. Konferensi dengan tema,
“Africa’s Response: Face the Facts”, dan sub tema,
“Taking Political Commitment”, hendak mencoba melakukan
pertautan antara kalangan pemimpin negara, ilmuwan dan aktivitas pada
level komunitas. Karenanya, dalam pelaksanaan Konferensi seluruh sesi
terbagi dalam tiga kategorisasi sesi, sesi para pimpinan negara dan
badan-badan donor maupun lembaga PBB, sesi keilmuwan yang
menghadirkan kalangan akademisi, termasuk di dalamnya presentasi
berbagai hasil riset, dan sesi aktivis pada level komunitas, di mana
kelompok-kelompok civil society mengambil peran yang
signifikan.
Dalam salah satu sesi Kepemimpinan,
menghadirkan 3 (tiga) ibu negara di Afrika, Madame Lobbo Traore
Toure, Ibu Negara Mali;
Madame Jeannette Kagame, Ibu Negara Rwanda dan Putri Lalla Salma dari
Maroko. Ketiganya hadir membicarakan soal stigma yang dihadapi oleh
mereka yang terinfeksi HIV. Panel diskusi yang dipandu Mr. Michel
Sidibe, Deputy Executive Director UNAIDS, menyimpulkan, diyakini
bersama penghapusan stigma dan diskriminasi merupakan kebutuhan utama
dalam pengembangan berbagai program pencegahan perluasan HIV dan
AIDS. Pencegahan stigma tidaklah cukup dilakukan dengan memberikan
berbagai informasi mengenai HIV dan AIDS kepada masyarakat luas
secara intensif, tetapi membutuhkan secara langsung intervensi para
pemimpin negara.
Penghapusan stigma dan diskriminasi
berarti melakukan perluasan pengembangan program pencegahan HIV dan
AIDS. Terlebih, jika akar terjasinya stigma bersumber dari
nilai-nilai atau ajaran yang selama ini diajarkan melalui mekanisme
sosial. Problemnya menjadi tidak sederhana, karena perubahannya tidak
saja pada level personal tetapi harus mengubah tatanan nilai itu.
“Adat di tempat kami masih menjadikan perempuan tanpa hak seksual,”
kata Mbajou, salah seorang peserta Konferensi.
Menurutnya, melakukan perubahan
terhadap nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat harus ditopang
oleh dukungan para pimpinan dalam masyarakat itu sendiri. Kita tidak
bisa berbuat apa-apa tanpa persetujuan para pemimpin dalam melakukan
perubahan nilai. “We can not change it without them,”
katanya dengan aksentuasi Perancis.
Tetapi tampaknya harapan untuk
hilangnya stigma dari masyarakat, masih sebatas isapan jempol belaka.
Alih-alih berharap masyarakat luar tidak melakukan stigma, kalangan
aktivis peduli HIV dan AIDS sendiri masih melakukannya. Misalnya,
pada saat sesi yang menghadirkan orang terinfeksi HIV, Fatimah Ball,
peserta konferensi sebagian besarnya tidak memperhatikan atau
menganggap enteng saja. “Sepertinya ada pertanyaan kenapa harus ada
ODHA di sini,” kata Risya Kori dari The Constellation for AIDS
Competence.
Peristiwa ini merupakan contoh yang
sangat artifisial. Sedangkan dalam konteks yang sangat substansial
pun masih banyak ditemukan perilaku-perilaku stigmatis dari kalangan
aktivis HIV dan AIDS. Misalnya saja, para perencana program hanya
selalu melihat kelompok-kelompok yang dianggap sebagai biang
penularan, seperti homoseksual dan kalangan pekerja seks perempuan
dan kelompok lainnya, kalangan pengguna jarum suntik.
Stigmatisasi juga terjadi tidak hanya
pada level individu, melainkan pada level antar negara. Negara-negara
di Afrika Selatan, merupakan sasaran empuk bagi berjalannya mekanisme
stigmatik ini. Tingginya prevalensi HIV dan AIDS di Afrika Selatan,
menempatkan wilayah ini sebagai negara sasaran program, tetapi juga
sebagai contoh rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran. Bahkan
dalam bahasa yang lebih kasar, simbol dari ‘ketololan’, sehingga
wilayah ini terjerumus dalam berbagai persoalan sosial. Tentu saja,
mekanisme perendahan ini, tidak semata-mata berkait dengan HIV dan
AIDS, melainkan memiliki relasi kuasa antar ras, antara kulit hitam
dan kulit putih, antara negara penjajah dan yang dijajah. Ia tidaklah
berdiri sendiri, apa adanya.
Keseriusan para pemimpin negara dan
tentu saja komitmen elemen lain yang patut dipertanyakan tidak saja
pada soal penghapusan stigma. Problem untuk menjamin seluas-luasnya
terhadap terapi antiretroviral bagi setiap orang yang terinfeksi HIV
pun masih bermasalah. Faktual, di Afrika berbagai upaya telah
dilakukan, tetapi prevalensi HIV dan AIDS terus saja meningkat.
Sebagaimana luas diketahui, hampir 67% penduduk di Afrika hidup
terinfeksi HIV dan 75% dari mereka sebagian besarnya meninggal karena
AIDS. Sampai saat ini, AIDS masih menjadi penyebab utama kematian di
Afrika.
Pelajaran untuk Indonesia
Kelangkaan mekanisme berbagai
pengalaman dalam penanggulangan HIV dan AIDS menjadi bagian lain dari
persoalan yang mengemuka dalam diskusi. Persoalan ini harus menjadi
perhatian sehingga tidak terjadi kegagalan progran karena berangkat
dari kesalahan yang sama. Indonesia harus belajar dari pengalaman
yang dikembangkan di Afrika, karena saat ini prevalensinya juga terus
meningkat.
Pengalaman dalam mengorganisasikan
konferensi setingkat ICASA ini juga harus menjadi pembelajaran bagi
Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama, Agustus 2009 yang akan
datang Indonesia akan menjadi tuan rumah pelaksanaan International
Conggress on AIDS in Asia and the Pasific ke-9 (ICAAP IX) di
Bali. “Indonesia harus belajar dari pengalaman ICASA 2008 dalam
mengorganisasikan ICAAP mendatang,” kata Jean-Louis Lamboray, Chair
of The Constellation for AIDS Comptenece.[]