Pemilu Legislatif 2009 yang lalu merupakan “pesta rakyat”
terburuk sejak zaman reformasi. Peringatan Hari RA. Kartini, hari
ini), menjadi momentum kedukaan mendalam bagi gerakan perempuan atas
memburukknya capaian keterwakilan perempuan. Sebagaimana terlihat
dari prediksi perolehan sementara calon legislatif perempuan yang
akan lolos menjadi anggota legislatif secara umum mengalami
penurunan.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), problem
ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir pasal
214 dari UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu, yang menggiring
pandangan masyarakat, Pemilu 2009 sangat demokratis mengingat
penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kebanyakan
masyarakat awam menganggap, setiap suara satu orang bermakna besar
dalam menentukan wakilnya, tanpa bisa melihat adanya akal-akalan
politik akibat ambiguitas pasal tersebut ketika disandingkan dengan
pasal lainnya. “Sayang ekspektasi masyarakat ini kemudian harus
termentahkan karena akhirnya banyak warga negara tidak dapat
menyalurkan hak pilihnya karena tidak tercantum dalam Daftar Pemilih
Tetap,” kata Masruchah, Sekretaris Jenderal KPI.
Pemerintah dan KPU, menurut Masruchah, merupakan sumber
ketidakberesan ini dalam menyiapkan data pemilih, jutaan warga
kehilangan hak konstitusionalnya karena tidak tercantum dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Publik dan media massa sudah memperingatkan, DP4
Depdagri harus akurat dan up to date karena menyangkut akurasi DPS
serta DPT. Ketika protes masyarakat muncul di berbagai wilayah,
mereka justru saling lempar tanggungjawab di antara para
penyelenggara negara. Pemerintah memandang sebagai tanggungjawab
sepenuhnya KPU, dan Presiden RI secara langsung menegaskan keharusan
KPU menjelaskan kepada publik. KPU beralasan karena dana
penyelenggaraan Pemilu terlambat dicairkan sesuai rencana. “Akibat
buruknya sinergitas Pemerintah dengan KPU, ujung-ujungnya masyarakat
pula yang disalahkan, dengan alasan tidak kooperatif, apatis,”
katanya.
Karut marut inilah, yang dinilai KPI semakin memperparah perolehan
suara calon legisltif perempuan. Pemilih perempuan terutama di
pedesaan, masih memiliki keterbatasan akses informasi. Ada tiga
faktor utama penghambat perolehan suara calon legislatif perempuan.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang berdampak nyata pada hilangnya ruh
affirmative action, kuatnya politikasal dari penyisihan dana
belanja keluarga.
Persoalan lainnya, rentannya pergerakan
kertas suara dari manipulasi, yang tidak hanya dilakukan antar partai
politik namun juga di internal partai politik sendiiri. Caleg
perempuan menghadapi hambatan dalam soal ini, karena mereka memiliki
keterbatasan untuk mengadakan saksi atau pemantau. “Hingga detik
ini calon legislatif perempuan masih diliputi kecemasan akan
perolehan suaranya yang bisa saja anjlok di tengah perjalanan
penghitungan suara yang kini tengah berlangsung,” kata
Masruchah.
Menyikapi kondosi seperti ini, Koalisi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi menilai Pemerintah telah lalai
dan abai terhadap pelaksanaan UU No 7 tahun 1984 tentang Pengahapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan khususnya terkait
concluding comment dari Komite CEDAW mengenai pelaksanaan
affirmative action.
Pemerintah dan KPU harus bertanggungjawab terhadap hilangnya hak
pilih masyarakat yang berjumlah besar dengan cara sesegera mungkin
melakukan perbaikan dan selalu bersikap terbuka setiap
menindaklanjuti berbagai pelanggaran yang terjadi atas dasar
pengaduan Badan Pengawas Pemilu maupun masyarakat secara umum.
Pemerintah juga harus bertanggungjawab melakukan healing bagi
calon legislatif perempuan yang mengalami trauma politik dan
dilakukan di berbagai tingkatan dengan penanganan profesioanal.