Pro kontra mengenai UU Pornografi masih belum tuntas bahkan setelah keputusan pengesahannya sekalipun. Sabtu, 15 Nopember 2008, di KPID-DIY, KPID (Komisi Penyiaran Indonesia) melakukan diskusi publik, mengundang narasumber Budi Wahyuni (Ketua PHD PKBI DIY dan Peneliti PSKK UGM), Indra Trenggrono (Sosiolog dan pemerhati budaya), dan Nopriadi (Dosen UGM dan aktivis Hizbut Tahrir di Indonesia). Hadir dalam diskusi ini, Forum LSM, feminist, jurnalis, lembaga layanan konsumen, MUI, mahasiswa, forum komunikasi media tradisional, Polda DIY dan lain-lain.
Budi Wahyuni, dalam presentasinya, menyampaikan akar permasalahan lahirnya UU Pornografi. keinginan mengatur ranah privasi dengan indikator yang tidak bisa diukur. Anak dan perempuan menjadi korban, khususnya untuk kekerasan seksual. Penyebabnya, libido laki-laki yang tidak mampu direm. Di banyak kasus, pelecehan seksual dan pemerkosaan, tidak pandang bulu, dari balita sampai nenek-nenek. “UU Pornografi dapat dijadikan alasan menyalahkan orang lain, dalam hal ini perempuan yang memakai busana minim, sehingga mampu meningkatkan libido seorang laki-laki,” kata Budi Wahyuni.
Indra Tranggono, mempersoalkan dari sisi budaya dan sosiologinya. UU Pornografi memiliki persoalan semantik, muncul dari biasnya makna dan pengertian pornografi serta pasal-pasalnya sendiri. Bias makna dan bias susunan kata. Sebagai contoh, ketika seorang penyiar TV, mendapat telepon dari penonton yang mengaku, dirinya terangsang karena mendengar suara sang penyiar. Padahal, pada saat tersebut, sang penyiar sedang membawakan berita ramalan cuaca. “Tidak ada kaitannya dengan seksual,” kata Indra Tranggono.