Penyakit kulit, diare, desentri, akan
segera akrab bagi mereka yang ada di tengah-tengah peristiwa banjir.
Tidak harus dibedakan, mereka yang tetap bertahan di dalam rumah
maupun yang terpaksa harus mengungsi, menghuni barak-barak
pengungsian. Semua akana mengalami akibat yang sama, ancaman berbagai
penyakit akan terus mengintai, dalam keseharian mereka. Tragedi
lainnya akan segera menyusul, berbagai tindakan kekerasan seksual
akan segera terjadi, seperti juga pada saat bencana gempa dan tsunami
di Nanggroe Aceh Daarussalam (NAD) dan gempa bumi di Yogyakarta dan
Jawa Tengah bagian selatan.

Tidak lagi memadai untuk mengatakan
banjir sebagai bencana alam. Saat ini, akan lebih tepat jika kita
sebut sebagai tragedi kemanusiaan. Cara pandangnya, bencana alam
merupakan peristiwa yang tidak bisa dipredisksi apalagi diantisipasi.
Ia terjadi begitu saja, dan sungguh-sungguh berada di luar kemampuan
manusia untuk mencegahnya. Dengan nalar inilah, manakala kita
menyebut banjir sebagai bencana alam, ia dengan serta merta sedang
membebaskan pemegang kekuasaan dari problem terjadinya bencana.
Mereka bisa berlenggang kangkung, karena semuanya memang tidak bisa
diprediksikan, semuanya merupakan kehendak sang Pencipta. Lalu,
pemegang kekuasaan akan hadir sebagai dewa, menurunkan segala macam
bantuan, menunjukkan betapa mereka sangat berperikemanusiaan.

Manakala kita menggeser dengan menyebut
banjir sebagai tragedi kemanusiaan, kita sedang mengatakan, banjir
sesungguhnya merupakan peristiwa yang bisa diprediksikan hadirnya dan
diantisipasi penanganannya. Ia bukan sesuatu yang serta merta
terjadi, dan bukan sesuatu yang tidak bisa dicegah sama sekali.
Banjir, sudah jelas sebabnya. Curah hujan yang terus menerus,
hutan-hutan yang gundul, aliran-aliran sungai yang terganggu,
saluran-saluran air yang tidak terurus, dan semakin sempitnya
daerah-daerah resapan air. Melihat sebabnya, tentu tidak bisa
dikatakan, semuanya berada diluar kendali manusia. Ia sangat dekat
dan sangat terjangkau.

Dengan demikian, banjir, sebagai
tragedi kemanusiaan, sesungguhnya, merupakan sebuah kelalaian
pemegang kekuasaan di negeri ini. Banjir dengan demikian, merupakan
peristiwa yang berkaitan langsung dengan tanggung jawab pemerintah
terhadap warga negaranya. Terhadap para pemegang mandat politik dan
kekuasaan di negeri ini.

Pemerintah lantas, dengan konteks nalar
seperti ini, bisa dipersalahkan karena melanggar hak-hak warga negara
untuk bebas dari tragedi kemanusiaan yang sesungguhnya bisa dicegah
sejak awal. Pemerintah yang sudah melakukan pelalaian sehingga
berakibat pada perugian fisik dan psikis bagi warga negara yang
berhak atas perlindungan sebagaimana dijamin dalam UU.

Wacana demikianlah yang penting untuk
dikembangkan, tidak saja untuk memberikan pendidikan kritis bagi
rakyat kebanyakan, sehingga mereka tidak saja selalu diposisikan
sebagai korban yang menyusahkan. Di sisi lain, sedang memberikan
pelajaran terbaik bagi para pemegang kekuasaan dalam mengemban mandat
kekuasaan yang dipercayakannya. Bukan presiden, sebagai pimpinan
eksekutif tertinggi merupakan pilihan langsung rakyat, bukan lagi
dipilih di gedung wakil rakyat? Pertanggungjawaban sudah semestinya
memiliki efek politik secara langsung kepada rakyat kebanyakan.[]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *