Faisal Basri Perlu Diluruskan

Faisal Basri, ekonom kondang itu,
mendukung Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, terkait dengan gagasannya
tentang penghapusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg
PP). Sebagaimana dikutip DetikNews (27/2). Fasisal Basri,
memperkirakan, jika kementerian ini tidak dihapus, dalam 20 tahun ke
depan perceraian akan naik 20 kali lipat, anak-anak single parent akan naik 40 kali lipat, dan anak-anak tanpa ayah akan naik 10
kali lipat.

Kita memang memahami dan bisa mengerti
pembacaan terhadap keberadaan Menneg PP yang belum bisa secara
substansial mengembangkan agenda-agenda fundamental bagi kepentingan
dan keburuhan perempuan. Bahkan, kita juga setuju, manakala
dikatakan, kementerian ini, justru mempersempit perannya, sebagai
pelaksana UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT) semata-mata. Kalau toh memberikan
dukungan-dukungan terhadap pemberdayaan ekonomi perempuan, kaitannya
masih pada seputar ketergantungan ekonomi perempuan dalam keluarga,
sehingga memiliki daya tawar yang tinggi terhadap pasangannya.

Argumentasi penghapusan Menneg PP yang
diajukan Faisal Basri, justru yang penting untuk dipersoalkan. Bukan
prosentasi yang disebutkan mengenai perceraian, anak-anak single
parent
dan anak-anak tanpa ayah, tetapi nalar normatifnya, yang
mengaitkan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan
perceraian. Kita ingat benar, atribut yang diberikan secara sinis,
terhadap lembaga-lembaga yang melakukan pembelaan terhadap perempuan
yang mengalami kekerasan dari pasangannya, “lembaga perceraian”.
Dari nalar inilah, tampaknya Faisal Basri, menghitung angka-angka
perkiraannya. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sama dengan
perceraian.

Karenanya, perlulah kiranya untuk
diluruskan cara pandang normatif, yang muncul sejak tahun 90-an awal,
terutama secara monumental, ketika Rifka Annisa Women Crisis
Center,
didirikan pada tahun
1993. Kelahirannya, tidak saja diiringi dengan cemooh dan
ketidakpercayaan, perempuan begitu mengalami kekerasan yang amat
sangat, termasuk dari pasangan mereka sendiri, yang katanya, penuh
cinta dan kasih sayang. Melainkan juga cao-cap negatif, sebagai
lembaga perceraian, karena diprasangkai, selalu saja klien yang
didampingi pasti akan memutuskan untuk meminta cerai dari
pasangannya.

Ketakutan
yang seringkali kita temui, ketika di negeri ini mulai menguatkan
gerakan dekonstruksi kebudayaan yang tidak adil jender dan
mengakibatkan berbagai tindakan diskriminatif dan peminggiran
perempuan dari akses dan kontrol terhadap sumber daya. Kita masih
ingat betul, pada masa-masa itu, bagaimana respons meluas, perjuangan
adil jender diartikan juga sebagai proses pendidikan pembangkangan
perempuan terhadap laki-laki. Sebuah pengartian yang sama sekali
tidak memiliki dasar yang kuat, kecuali semata-mata ketakutan
laki-laki akan tergoyahkan dominasinya terhadap perempuan.

Faisal
Basri, masih dalam bayang-bayang pemikiran yang demikian. Situasi ini
mungkin saja disebabkannya dalam mengikuti berbagai perkembangan
gerakan perempuan di negeri ini, dan tindakan penyederhanaan terhadap
agenda-agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga. Penting untuk mengingatkan Faisal Basri, simpulan yang
dibuatnya dan yang mungkin saja lemah dasarnya, bisa menjadi
pendukung gagasan-gagasan anti gerakan pembebasan perempuan dari
perlakuan tidak manusiawi, termasuk di dalamnya kekerasan berbasis
jender. Gerakan yang tetap menginginkan perempuan menjadi manusia
tidak berdaya, perempuan yang harus dikungkung dalam jaring-jaring
kekuasaan laki-laki, dengan seluruh asumsi-asumsi negatif yang
dilabelkan kepada perempuan.

Di
sinilah tampaknya, gerakan perempuan penting untuk bersikap terhadap
gagasan Faisal Basri. Sekali lagi, bukan pada dukungannya terhadap
gagasan GKR Hemas, melainkan berkaitan dengan nalar yang bekerja
dalam memandang agenda penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebuah nalar khas patriarkhi, yang merasa kewenangan-kewenangan
ekslusif atas diri perempuan terganggu, sehingga lebih baik perempuan
terus menerus mengalami kekerasan dari pasangannya, ketimbang
memiliki jalan cerai, untuk memutus mata rantai kekerasan itu
sendiri. []

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *