Gender & Kekuasaan

Gender bisa diartikan sebagai ide dan harapan dalam arti yang luas yang bisa ditukarkan antara laki-laki dan perempuan, ide tentang karakter femini dan maskulin, kemampuan dan harapan tentang bagaimana seharusya laki-laki dan perempuan berperilaku dalam berbagai situasi. Ide-ide ini disosialisasikan lewat perantara keluarga, teman, agama dan media. Lewat perantara-perantara ini, gender terefleksikan ke dalam peran-peran, status sosial, kekuasaan politik dan ekonomi antara laki-laki- dan peempuan. (Bruynde, jackson, Wijermans, Knought & Berkven, 1997 : 7).

Definisi di atas mengindikasikan bahwa segala aspek dalam kehidupan sosial sebenarnya masuk dalam lingkaran gender (gendered) sejauh itu berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan.

Van Driel (1994 ; 4) membedakan 3 proses yang mengorganisasikan gender dalam kehidupan sosial.

  1. Gender symbolism yakni penempatan dua jenis peran berbeda untuk laki-laki dan perempuan dan terkadang diserati dengan segala sesuatu yang harus dilakukan sesuai dengan jenis kelamin. Proses iini disebut sebagai ideologi, yakni seperangkat ide yang direproduksi oleh pendidikan, agama dan proses sosialisasi dalam rangka memberi pengertian pada masyarakat. Dalam bahasa yang agak berbeda, Van Haren (1999 ; 5) menungkapkan bahwa dorogan seksual sangat berkait dengan pemaknaan sosio-kultural, sehingga dorongan seksual tidak saja dilihat sebagai naluri alamiah saja. Asumsi ini bisa dibuktikan pada beberapa daerah yang menganggap bahwa persoalan seksual lebih merupakan persoalan laki-laki- ketimbang perempuan. Laki-laki dianggap lebih mempunyai kebutuhan seksual yang lebih bila dibandingkan perempuan. Apabila asumsi ini diterima oleh perempuan, maka segera para prempuan akan merelakan dirinya mejadi obyek seksual laki-laki dan terlibat dalam perilaku seksual berresiko tinggi.
  2. Gender structure, yakni proses pengaturan aktifitas soaial berdasarkan ide-ide tentang peran dualistik gender yang lahir dari wilayah simbol. Pada wilayah ini, terlihat perbedaan yang terinstitusionalisasi antara laki-la2ki-laki-laki dan perempuan dalam ruang sosial. institusionalisai ini termanifestasi pada hukum, pembagian wilayah kerja dan adat (Van Dariel, 1994 : 5). Senada dengan Van Dariel, Va Haren menambahkan bahwa fenoena ini adalah sebuah gambaran tentang dan terjemahan dari ide-ide tentang maskulinitas dan feminimitas dalam pola perilaku yang sering ditampakkan di ruang institusi dan organisai sosial. contoh paling konkret adalah sebuah kecenderugan pada laki-laki yang lebih menyukai aspek-aspek “ketehnikan”, berbeda dengan perempuan yang lebih cenderung menyukai aspek-aspek sosial.
  3. Individual gender, yakni identitas personal yang terkonstruksi secara sosial berdasarkan kombinasi antara pertanyaan “bagaimana relasi gender beroperasi pada konteks tertentu” dan persepsi tentang “bagaimana relasi-relasi ini seharusnya berjalan”. Pada dimensi ini, seorang bisa mempertanyakan ideologi gender yang sedang berjalan atas dasar ide-ide mereka sendiri tentang maskulinitas dan femininitas.(Van Haren, 1999 ; 7).

Pengetahuan dan Kekuasaan

Dari penjelasn di atas, kita mengetahui bahwa ketiga dimensi mempengaruhi kehidupan sosial dan saling mempengaruhi satu sama lain. Karenanya individu juga bisa mempengaruhi baik struktur maupun simbolisme gender. Indivisu adalah seorang aktor, dan mempunyai kuasa tersendiri untuk melakukan bargaining dengan situasi sosialnya. Pada sisi yang lain individu itu juga dipengaruyhi dan dibatasi oleh situasi sosialnya, sehingga individu terkadang tidak bisa memilih pada konteks tersebut. Pada sisi yang lain, situasi sosial atau sebut saja “ruang gerak” (room to manoeuvre) sosial ini membantu individu menentukan posisi sosial yang bisa diambil.

Karakter “ruang gerak” ini sangat ditentukan oleh wacana dominan. Wacana menururt Brouns (1993 ; 70) adalah jaringan cerita baik perkataan atau tulisan, di mana manusia secara bersama membentuk satu keyakinan tentang benar atau tidaknya sebuah tujuan atau wilayah. Moore (1993 ; 86) mengatakan bahwa wacana adalah sistem pemahaman yang diadopsi oleh sesorang untuk mnafsirkan dunianya.

Dari sini, wacana bisa dilihat sebagai seperangkat ide dan standar yang hidup dalam rung sosial. Manusia menggunakan perangkat ide dan standar ini untuk merepresentasikan sebuah kebenaran, dan perilaku mereka akan menjadi bagian dari wacana tersebut. Jadi, apabila seseorang bisa berjalan mengikuti wacana sosial ini, maka ia akan dapat membantu menjaga relasi kuasa yang lahir dari wacana ini, dan mereka juga akan bisa mempengaruhi diensi struktur dan simbol sosial yang ada. Oleh karena itu, bagi Vilarreal (1994 : 172) kekuasaan (power) tidaklah dianggap sebagai sesutau yang bisa dimiliki atau tidak, akan tetapi kekuasaan itu lahir sebagai konsekuensi dari tindakan seseorang. Karena itu, dalam konstruksi gender kekuasaan itu bisa dalam posisi “diberi” atau “diterima” antara laki-laki dan perempuan. laki-laki dan perempuan alam posisinya sebagai agen, bisa menempati posisi baik sebagai pemberi atau penghasil (yielder) atau penerima dan pemegang (wielder).

Foucault (1981) beranggapan bahwa wacana juga bisa mempengaruhi relasi kuasa yang sedang berjalan, karenanya relasi kuasa adalah sesuatu yang tidak tetap. Dari sini, wacana bisa dianggap sebagai instrumen sekaligus akibat dari kekuasaan. Dari sini, kekuasaan tidak hanya diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menguasai orang lain, akan tetapi kekuasaan selalu hadir dan selalu berputar di sekililing individu.

Apa yang membuat wacana ini mempunyai arti dan pern siginifikan dalm membentuk relasi kuasa antar laki-laki dan permpuan ? jawbannya terletak pada penerimaan seseorng pada kuasa wcana yang dianggap mempunyai dasar pda kebenran pada wacana yang mereka terima dan gunakan. Dalam konteks gendeer bisa dicontohkan, misalnya, jika seorng laki-laki secara alamiah dianggap lebih dominan daripda perempuan, dan karenanya hal ini benar, maka konstruksi peran, status sosial dan kekuasan akan lebih diberikan pad laki-laki daripada perempuan.

Menurut Whelan (1999 : 7) stndarisasi gender menggambarkan pada peran produksi dn reproduksi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini akan mengaikbatkan juga perbedaan pola atau jalan di mana laki-laki dan perempuan bisa memperoleh akses pendidikan, informasi, tanah, uang, pekerjaan dan pendapatan.

Gender, Kekuasaan dan kebudayan

Machali (2001 : 10) mengatakan bahwa sistem kekuasaan di indonesia sangat dipengaruhin oleh Jepang selama masa penjajahannya di negeri ini. Menyitir pendpat Anderson, Machali mengatakan bahw da 4 poin dasar yang memberi kejelasan tentang jejak kekuasaan Jepang pada sistem kekuasaan di Indonesia. Bagi Jepng kekuasaan itu adalah sesuatu yang konkret, homogen, konstan atau tetap pada total kualitas, dan tanpa ada implikasi moral di dalamnya. Kekuasaan berada di luar jangkauan para pemakainya. Kekuasaan dianggap bersal dari kekuatan Tuhan, tidak tampak dan misterius, karenanya berasal dari satub sumber dan termaniufestasi dalam satu bentuk. Sehingga walaupun distribusi kekuasaan bisa saja berbeda-beda dan banyak, akan tetapi secra kuntitas kekuasaan itu dalah tetap dan tidak berubah. Konsekuensinya adalah kekuasaan terkonsentrasi pada satu orang, dengan usaha menghilangkan kekuasaan yang berada di pihak atau orang lain. Ketika kekuasaan sudah terpegng pada satu orang maka tidak bolah ada pertanyaan tentang keabsahan dan legitimassi kekuasaan itu, dan akhirnya sama sekali tidak mempunyai implikasi moral apa pun.

Sejak teori feminisme kritis masuk pada ilmu-ilmu sosil, muncul perdebatan antropologis seputar status laki-laki dan perempuan di Jawa. Dalam perdebtn itu, seringkali dikatakan bahwa status perempuan di Asia tenggara mempunyai posisi lebih tinggi dibandingkan posisi perempuan di wilyah dunia lainnya. Akan tetapi beberapa teoritikus seperti Robinson (1990 : 22), Sullivan (1994), Htley (1990) dan Keeler (1990) menytkan bahwa walupun perempuan jawa lebih mempeunyai peran dalam mengontrol finansial rumah tangga hasil dari perdagangan kecil, hal ini sama sekali bukan prestise yang besar. Menurut Brenner (1995) posisi ini sebenrnya menjadi justifikasi atas diominasi laki-laki atas perempuan ketika laki-laki lebih menyukai menggunakan uangnya untuk berjudi, mabuk dan bermain perempuan.

Seksualitas dan Gender

Sebelum tahun 1950-an, seksualitas merupakan area kajian yang didominasi disiplin biologi dan psikologi. Dalah Kinsey yang mula-mula memasukkan seksualitas dalam kajian sosial (golombok & Fivursh 1994 : 137 – 139). Sejak saat itu, seksualitas masuk dalam wilayak kajian ilmu-ilmu sosial.

Van haren (1999 : 15) dan Moore (1993 : 84) menegaskan keterkaitan antara seksualitas dan pemaknaan-pemaknaan sosial. Mamahami seksualitas dalam kerangka pendakatan konstruksi sosial, semakin menjelaskan posisi wacana seksualitas berhimpitan dan bahkan beririsan dengan konstruksi gender.

Wacana dan pemikiran tentang seks menurut Moore adalah kontruksi tentang proses-proses stereotyp-stereotyp dan dibiasakan yang mana dengannya mnusia berpeilaku seksual, dan kemudian menjadai anggapn sosial secara umum.

Bagi Hekma (1994 : 8-9) seksualitas merupakan hak khusus (privasi) laki-laki yang selalu mengekspresikan dominasinya atas perempuan. Hal ini misalnya terlihat dalam posisi berhubungan seks. Walauapun hubungan seksual lebih sering dianggap sebagai tindakan yang alamiah, akan tetapi hal itu menurut beberpa teorikus juga masuk dalam wilayah konstruksi gender. McFdden, misalnya, mengatakan bahwa posisi konvensionl dalam hubungan seks di mana laki-laki berada di atas dn perempuan di bwah, menunjukkan konstruksi sosial yang ter-gender-kan. (Van Haren 1999 : 12).

Banyak gagasan tentang seksualitas yang lahir dari asumsi “wacana doronbgn seksual laki-laki”. Asumsi ini lahir dari   pemikiran bahwa perempuan adalah pelampiasan nafsu seks laki-laki. Pemikiran mengandaikan relasi seksualitas yang tidak seimbang seimbang antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki sebagai subyek perilaku seksual dan perempuan sebagai obyek. Dengan kata lain, dalam menanggapi persoalan seksulitas laki-laki lebih bisa bersikap dan bertindak aktif, sedangkan perempuan lebih pasif. Anggapan ini bisa lebih jauh berimplikasi pada aman atau tidaknya suatu pewrilaku seksual. Peremp[uan yang dianggap tidak berkepentingan dalam seks, karena dia adalah obyek dan subyeknya laki-laki, akan merasa kesulitan untuk menunjukkan keinginan mereka menikmati seks yang aman dan seimbang. Laki-lakilah yang mengontrol seks, dan akhirnya aman atau tidknya sebuah perilaku seksual ditentukan oleh pemegang kontrol. (Harding 1998 : 21).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *