Membangun gerakan sosial melalui sosial media merupakan strategi efektif untuk menyebarluaskan informasi hak kesehatan reproduksi dan seksual (SRHR) bagi remaja. Dari 60 juta lebih pengguna internet di Indonesia, lebih dari separuhnya berasal dari orang muda berusia 12-34 tahun.
Melihat peluang tersebut, PKBI DIY dan CD Bethesda mengadakan workshop persiapan materi untuk TV SRHR, Video Tronik dan informasi kesehatan reproduksi di media pada Rabu-Jumat (11-13/9). Bertempat di Pondok Asri Tawangmangu, 20 peserta dari PKBI DIY dan CD Bethesda mendapatkan materi bagaimana membangun gerakan sosial melalui sosial media.
“Workshop ini merupakan momen langka. CD Bethesda dan PKBI DIY bisa bersinergi menentukan strategi bersama untuk memperjuangakan hak kesehatan reproduksi dan seksual remaja,” ujar Paula Hartyastuti, Direktur CD Bethesda, ketika membuka workshop.
Workshop yang difasilitatori Mukhotib, MD. dan Budi Hermanto (Combine Resource Institution) diawali penjelasan program ASK dan hasil need assessment yang dilakukan oleh PKBI DIY dan CD Bethesda. Menurut Gama Triono, Manajer Program Youth Center PKBI DIY, program ASK bertujuan memberikan ruang pada remaja untuk lebih kuasa mengatur tubuhnya, informasi yang dia dapatkan, dan model layanan seperti apa yang ingin diakses. Hasil need assessment yang dilakukan PKBI DIY dan CD Bethesda menunjukkan smartphone/handphone paling banyak digunakan remaja di 6 kabupaten/kota di DIY untuk mengakses jejaring sosial. Para responden juga mengatakan pengemasan informasi melalui media yang menarik adalah yang komunikatif dan bisa membuat remaja tergerak, yaitu membuat penasaran, menyentuh emosi, menghibur dan mengikuti tren.
Sebelum masuk ke diskusi tentang Internet dan Pemanfaatan Sosial Media untuk kampanye isu sosial, peserta diberi gambaran tentang kondisi media saat ini. Faktanya, sekarang tidak banyak orang membaca media cetak, terlebih anak muda. Ketika bangun tidur, orang melihat media elektronik. Menurut Budi Hermanto, menjadi penting bagi pihak yang ingin membangun gerakan sosial, untuk memanfaatkan momen ini dalam memberikan informasi. Bagaimana mengubah konstruksi dari yang awalnya kita sebagai objek media, beralih menjadi subyek.
Catatan penting yang diutarakan oleh M. Irsyadul Ibad, Direktur Infest Yogyakarta yang menjadi salah satu narasumber workshop, adalah mengenai kejelian untuk tidak terbawa pada konstruksi yang umum. Banyak orang mengandalkan keumuman yang justru menghilangkan sisi reflektif,
“Ini yang menjadi titik tantangan kita. Hal terpenting bagi pengguna maupun administrator media merupakan konteks refleksinya, pembelajaran apa yang hendak kita sampaikan ke masyarakat,” kata Irsyadul.
Di hari kedua, peserta diajak langsung untuk praktek memunculkan sebuah isu dengan menggunakan sosial media twitter-. Peserta yang dibagi menjadi 6 kelompok diminta untuk menentukan satu isu yang akan dimunculkan dalam sosial media dengan terlebih dulu melakukananalisis, meliputi audiens, segementasi, tujuan, indikator, dan media yang akan digunakan. Fasilitator dan peserta kemudian merumuskan konsep dasar kampanye informasi dan layanan SRHR Remaja, yang meliputi nilai yang akan diusung yang mengedepankan anti kekerasan, penghargaan atas tubuh, non stigma, tidak bias gender dan non eksploitasi. Produksi teks menggunakan kata-kata yang tidak menimbulkan stigma negatif juga menjadi bahasan pada sesi terakhir ini. (Mukhlis)