Kesehatan reproduksi dan seksual merupakan hak dasar manusia, maka harus diakui, dilindungi, dan setiap orang harus dipastikan mendapatkannya. Hal tersebut dikemukakan Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, saat membuka Simposium Nasional dalam rangka World Sexual Health Day atau Hari Kesehatan Seksual Sedunia 2014 di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta, Senin (29/9/14) Simposium yang diselenggarakan oleh Aliansi Satu Visi bersama Jaringan Perempuan Yogyakarta ini mengangkat tema “Hak Seksual: Kesejahteraan Seksual bagi Rakyat” dan menitikberatkan pada diskusi terkait Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 (PP No.61/2014) tentang Kesehatan Reproduksi. Banyak pihak menilai PP No.61/2014 tersebut masih memiliki banyak kekurangan. Salah satunya pasal 31 mengenai aborsi. Menurut pasal tersebut, aborsi hanya dapat dilakukan jika ada indikasi kedaruratan medis atau jika kehamilan terjadi akibat perkosaan. Padahal, kondisi perempuan korban perkosaan yang rentan dan proses hukum yang sangat rumit berpotensi mempersulit perempuan dalam mengakses layanan aborsi aman. Selain itu, pembatasan akses aborsi yang diatur dalam PP dinilai belum mengakomodir permasalahan tingginya angka KTD (Kehamilan Tidak Direncanakan) pada perempuan yang tidak terpapar informasi seksualitas yang komprehensif, baik perempuan remaja, dewasa, belum menikah maupun sudah menikah. Pada banyak kasus, perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya ketika KTD terjadi. Tidak adanya payung hukum yang melindungi dan menyediakan layanan aborsi yang aman bagi setiap perempuan menjadikan perempuan terpaksa mengakses layanan yang tidak aman. “Hak reproduksi dan seksual tidak hanya sebatas pemenuhan layanan, tapi mencakup otonomi dalam pengambilan keputusan terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksual,” papar Desti Murdijana, Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan, salah satu narasumber Ali Ghufron mengatakan idealnya tugas negara dalam memenuhi hak kesehatan reproduksi dan seksual warganya mencakup proses promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. “Pendidikan seksualitas yang komprehensif hingga layanan aborsi yang aman dan legal haruslah menjadi layanan yang terintegrasi untuk memenuhi hak kesehatan reproduksi dan seksual,” lanjut Ali Ghufron.Selain pasal tentang aborsi, pasal lain dalam PP No.61/2014 yang mendapatkan sorotan adalah pasal 26 ayat 2 yang mencantumkan kehidupan seksual yang sehat adalah yang terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual. Pasal tersebut dianggap potensial memunculkan stigma terhadap komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Trans* (LGBT). Hari Kesehatan Seksual Sedunia sendiri mulai diperingati pada 2010 dengan inisiasi dariasosiasi bagi para praktisi dan pemerhati kesehatan seksual, World Association for Sexual Health (WAS). Peringatan setiap 4 September ini adalah upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dunia mengenai pentingnya kesehatan seksual.