Sabtu malam (28/9), warga dan turis yang memadati area Tugu Yogyakarta mendapatkan pemandangan tak seperti malam minggu biasanya. Puluhan orang bergandengan tangan melingkari Tugu sambil meneriakkan, “It’s My Circle, It’s My Right! Aborsi Aman Sekarang! It’s My Circle, It’s My Right! Aborsi Legal Sekarang!”
Aksi flashmob yang dilakukan oleh komunitas It’s My Circle tersebut merupakan Kampanye Global 28 September bersama 50 negara lain yang bergabung untuk memperingati Hari Aksi Global Aborsi Aman dan Legal. Aksi ini dilahirkan saat Women’s Global Network for Reproductive Rights (WGNRR) bergabung dalam kampanye di Amerika Latin dalam menghentikan kriminalisasi pada 2011. Dua puluh delapan September dipilih sebagai tanggal untuk kampanye dalam rangka memperingati dua instrumen hukum yang menandai penghapusan perbudakan di Brazil. Pertama, UU Rio Branco yang disahkan pada 28 September 1871 dan UU Saraiva-Cotegipe yang disahkan pada 28 September 1885. Kesepakatan itulah yang kemudian menjadi momentum global untuk Kebebasan Rahim dalam mendapatkan aborsi aman legal.
Lingkaran sendiri mewakili Os atau mulut rahim dan merupakan simbol bahwa isu aborsi adalah permasalahan bersama,
“Ini bukan saja permasalahan bagi perempuan dengan kehamilan tersebut, ini bukan hanya permasalahan orang-orang di sampingnya saja, karena ini adalah permasalahan bersama, terjadi di seluruh dunia,” kata Koordinator Aksi tersebut.
Statistik menunjukkan 47.000 perempuan meninggal setiap tahunnya karena aborsi yang tidak aman, menyumbang 13% pada angka kematian ibu di dunia. Kebanyakan berasal dari negara berkembang dimana perempuan mendapatkan akses yang sangat minim terhadap metode perencanaan keluarga modern.
“Kita harus mempertimbangkan isu aborsi tidak aman jika kita memikirkan tingginya angka kematian ibu, karena kalau tidak segala usaha untuk meraih Millennium Development Goal 5 akan gagal,” kata Kathy Mulville, Executive Director of Women’s Global Network for Reproductive Rights (WGNRR), dalam rilisnya.
Diperkirakan terdapat dua juta aborsi yang diindikasi terjadi di Indonesia dan di Asia Tenggara setiap tahunnya. Di Indonesia tercatat sebagai negara dengan angka kematian ibu yang masih tinggi di ASEAN. Ini hanya salah satu akibat dari aborsi ilegal dan tidak aman yang menyumbang 11% Angka Kematian Ibu. Bahkan di beberapa tempat angkanya mencapai 15-50%.
Namun, dengan kondisi tingginya AKI tersebut, pemerintah Indonesia tidak pernah mewacanakan untuk melegalkan layanan aborsi dan membuatnya lebih aman bagi perempuan. Ironi karena hal ini justru memicu berjamurnya praktik aborsi ilegal yang tidak aman di tengah masyarakat. Banyak perempuan yang harus mengalami pendarahan berat akibat komplikasi aborsi tidak aman, trauma paska aborsi tidak aman dan menghadapi stigma dari masyarakat. Aborsi masih dipandang sebagai hal yang ditakuti, dikecam dan dilarang, mengacuhkan fakta bahwa aborsi adalah salah satu prosedur medis. Jika larangan terhadap aborsi ini muncul karena pertimbangan moral etis, maka data bahwa hampir 80% yang melakukan aborsi dari total aborsi yang terjadi di Indonesia adalah ibu rumah tangga, patut djadikan acuan untuk berefleksi.
Minimnya akses informasi tentang aborsi aman dan layanan aborsi yang hanya dapat diakses untuk kelompok tertentu adalah juga persoalan karena dibatasi oleh aturan formal tentang perkawinan, biaya sangat mahal dan lain-lain. Perempuan sebagai pemilik tubuh dibuat kehilangan otoritasnya karena hukum yang membatasi dan tidak berperspektif perempuan, stigma dan penghakiman dari masyarakat tanpa memahami konteks hak perempuan.
Melalui Kampanye 28 September, komunitas It’s My Circle mempromosikan kebebasan rahim sebagai hak perempuan. It’s My Circle merupakan kampanye positif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan advokasi pemenuhan hak perempuan. (Lingga)