“Menurut saya semua orang sama, seperti apapun keadaannya, religiusitas pada diri setiap orang pasti ada dan tak bisa kita sangkal. Jadi siapapun tak berhak untuk melarang teman-teman waria untuk beribadah” kata K.H Abdul Muhaimin di sela-sela Tausiyahnya pada acara pengajian bersama pondok pesantren waria Al Fattah.

Rabu malam (16/07), di kediaman Ibu Sinta Ratri di bilangan Kotagede Yogyakarta digelar pengajian umum dalam rangka memperingati malam Nuzulul Qur’an. Pengajian tersebut diadakan atas kerjasama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara dengan pondok pesantren  khusus waria Al Fattah Yogyakarta. Tak kurang dari 50 orang yang terdiri dari santri pondok pesantren Al Fattah dan warga sekitar menghadiri pengajian tersebut.

Acara pengajian dimulai dengan pembacaan Ayat Suci Al Quran dan Sari Tilawah oleh para santri ponpes Al Fattah, lalu dilanjutkan dengan sambutan dari penyelenggara, lalu Tausiyah oleh Ustad Abdul Wahab Salim, M.Si dan K.H. Abdul Muhaimin.

Nur Kholis Hauqola, M.Si selaku perwakilan dari pihak UNISNU menjelaskan, ada beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa kerjasama ini terbangun. Pertama, bahwa komunitas waria itu ada, dan tidak ada alasan untuk mengingkari religiusitas mereka. Kedua, karena sempitnya ruang beragama yang diberi kepada waria karena kesalahan interpretasi. Waria dalam bahasa agama disebut Mukhonas. Dibedakan menjadi dua, yaitu  seseorang yang menjadi waria karena memang takdir Tuhan dan tak ada kemungkinan bagi mereka untuk menghindarinya dan kedua, orang-orang yang hanya menjadi waria untuk main-main. Maka acara ini diadakan untuk memberi ruang bagi para waria untuk mendapatkan asupan keagamaan.

Stereotype yang sering muncul di tengah masyarakat bahwa waria bertentangan dari norma agama seringkali membangun batasan bagi para waria untuk dapat mengakses pengetahuan seputar agama. Maraknya kasus kekerasan dari kelompok-kelompok agama tertentu terhadap kelompok LGBT beberapa tahun terakhir menjadi tantangan tersendiri bagi para waria untuk tetap dapat memperjuangkan haknya untuk beragama.

Selain untuk memperingati hari diturunkannya kitab suci Al Qur’an ke bumi, pengajian ini diadakan dengan tujuan untuk mensosialisasikan keberadaan pondok pesantren Al Fattah kepada masyarakat sekitar. “Pesantren ini kan baru tiga bulan terakhir pindah ke Kotagede, setelah sebelumnya bertempat di rumah almarhumah Ibu Maryani. Jadi dengan acara ini kita sekalian berkenalan juga dengan masyarakat sekitar.” kata Bu SInta Ratri, pengurus pondok pesantren Al Fattah.

“Acara ini harus mendapat perhatian stakeholder karena selama ini mereka bekerja sendiri. Sebagian masyarakat yang masih menutup mata juga harus digerakkan, karena kita semua kan sama-sama manusia, seperti apapun bentuknya.” ungkap K.H. Abdul Muhaimin menutup wawancara malam itu.  (Emil)

 

One thought on “Religiusitas Tak Mengenal Batas”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *