Sebagai Hak Asasi Manusia (HAM), maka setiap orang berhak mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi dan seksual. Negara memiliki tanggung jawab mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi hak kesehatan reproduksi dan seksual (HKSR) termasuk penyediaan pendidikan, informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual yang aksesibel bagi semua orang, baik dengan disabilitas maupun tanpa disabilitas.

Tingginya angka kekerasan seksual terhadap orang dengan difabel menunjukkan adanya persoalan yang belum mampu ditangani Negara terkait dengan pemenuhan HKSR. Pertama, pada ranah sosial dan budaya. Misalnya, masih kuatnya stigma dan pandangan negatif kepada orang dengan difabel yang menganggap mereka sebagai makhluk aseksual dan hiperseksual. Selain itu, orang dengan difabel dianggap tidak membutuhkan dan tak akan mampu memahami informasi HKSR. Akibatnya orang dengan difabel  menjadi terekslusi dari proses pendidikan, penyediaan informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual.

Keterbatasan informasi dan anggapan miring terhadap perempuan dengan difabel, menjadikan para pelaku kekerasan seksual merasa dirinya aman. Pengalaman panjang pendampingan korban kekerasan menunjukkan bahwa kesaksian korban dalam proses penanganan hukum acap kali diragukan karena difabelnya ( tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa mengenali), sehingga proses hukum pun tidak dilanjutkan.

Kedua, tindak kekerasan juga bisa dilakukan orang dengan difabel. Hanya saja perlu dipertimbangkan, tindakan itu dipicu oleh keterbatasan pendidikan dan penyediaan informasi mengenai kesehatan reproduksi dan seksual. Orang difabel tidak memahami konsep tubuh, organ reproduksi, menjaga dan menghormati integritas atas tubuh seseorang.

Remaja difabel dan remaja non difabel memiliki kebutuhan yang sama mengenai kesehatan reproduksi dan seksual. Mereka mengalami perkembangan secara seksual, membutuhkan pendampingan dan informasi yang tepat sehingga tidak melakukan perilaku seksual beresiko. Dalam konteks remaja difabel, orangtua masih memiliki peranan sentral pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual dalam lingkungan keluarga. Faktanya, peran ini sangat berat dirasakan sebab orangtua memiliki keterbatasan berkomunikasi mengenai kesehatan reproduksi dan seksual.

Orangtua dalam memberikan informasi mengenai kesetahan reproduksi dan seksual sudah memasuki masa pubertas. Misalnya saat anak remaja mulai mengalami dorongan seksual. Bagi remaja perempuan merasa ketakutan ketika mengalami menstruasi, sementara remaja laki-laki menggesek-gesekkan penisnya.

Pemberian informasi mengenai kesetahan reproduksi dan seksual yang tidak lengkap dan sepenggal-penggal dan diragukan kebenarannya tidak akan memecahkan masalah yang dialami remaja difabel dan cenderung memunculkan persoalan baru.

Sumber : Lembaga SAPDA.2015.Panduan bagi Orangtua dan Pendamping “Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja dengan Disabilitas”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *