Keberadaan komunitas lesbian selama ini tidak banyak diketahui masyarakat. Padahal telah banyak terbentuk komunitas
lesbian meski tidak dalam bentuk organisasi formal. “Sebenarnya kami sedang
mencari benang merah, apa yang dapat menyatukan teman-teman lesbian dalam satu
wadah organisasi formal,” kata Elok, salah seorang panitia acara L-Gathering yang diadakan di Yogyakarta,
5 April lalu.
Blog
Mengubah Opini dengan Film
Media audio-visual
dapat menjadi alat yang efektif untuk memperjuangkan hak-hak komunitas sebagai
warga negara. Melalui media ini, komunitas berusaha menyuarakan kepentingan
mereka. Hal ini terlihat pada film dokumenter yang dibuat oleh komunitas waria,
gay, remaja jalanan, dan pekerja seks. Hanya saja, seberapa jauh, efektivitas film sebagai media kampanye memang masih tetap dipersoalkan orang. Pasalnya, setiap pemirsa secara bebas sesuai dengan maind-setnya, akan membaca pesan yang sama dengan respons yang berbeda. “Tetapi itulah uniknya media film,” kata Widjanarko ES.
Hak Kesehatan Reproduksi Diffable Terabaikan
Kesehatan reproduksi dan seksual menjadi hak bagi setiap orang,
termasuk diffable. Sayangnya, selama ini fasilitas kesehatan reproduksi
dan seksual yang dapat diakses—baik pada aras informasi maupun layanannya,
terutama oleh remaja diffable tidak mendapatkan perhatian yang serius.
Padahal kebutuhan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual diffable
secara internasional telah diangkat dalam ICPD 1994 di Cairo. Salah satu mandat
Negara-negara peserta adalah Pemerintah di semua level dihimbau untuk
memperhatikan kebutuhan orang-orang dengan ketidakmampuan (diffable)
dari segi etika dan hak asasi manusia dan harus memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, termasuk
keluarga berencana, dan kesehatan seksual, HIV/AIDS, informasi, pendidikan, dan
komunikasi. Pada tahun 1997 pemerintah Indonesia, melalui Departemen Sosial
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang diffable. Meskipun
di satu sisi telah mengakomodasi banyak kebutuhan diffable seperti
hak-hak asasi manusia, namun belum mengatur masalah-masalah yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas.
Pekerjaan Sosial v.s Komersial
“Buat bussiness plan
saja,” ujar Imam Prakoso, salah seorang
praktisi media yang turut urun rembug
menggagas konsep pengembangan Media Centre dalam “Workshop Ahli Media
Centre PKBI DIY”, Sabtu, 5 April 2008 lalu. Setidaknya, menurut Imam Prakoso,
pengalaman PKBI dalam bidang pengembangan media sudah cukup memadai. “Pekerjaan
saat ini, menyusun rencana bisnisnya, sehingga pengembangannya menjadi
terarah,” lanjutnya.
Langkanya Aktivis Peduli AIDS di Yogyakarta
Petang ini, sebuah e-mail beredar dari KPA DIY. Kita tidak tahu persis apakah e-mail ini resmi atau hanya inisiatif personal KPA DIY. Tetapi yang hendak kita bahas bukanlah resmi atau tidak resmi status e-mail pendek ini, melainkan isi pesan itu sendiri. KPA DIY, dalam merekruit Sekretaris Pelaksana sebagaimana dimandatkan dalam Surat Keputusan Gubernur yang diterbitkan tahun lalu, ternyata harus diulang kembali dengan Rekruitmen Tahap II. Ada apa sehingga proses ini meski sampai pada tahap II?
Menjinakkan Kapitalisme untuk Gerakan Sosial
Sudah sejak lama, gerakan sosial di Indonesia mencoba mengembangkan sayap bisnis dengan harapan bisa menjamin keberlangsungan gerakan sosial dan tidak tergantung dengan lembaga-lembaga donor secara total. Akan tetapi fakta juga membuktikan, upaya ini lebih banyak yang hancur ketimbang yang bisa berkembang. Untuk yang berkembang, pada akhirnya juga menemui ajalnya atau setidak-tidaknya perpecahan yang tajam, karena nalar kapitalisme dalam sayap bisnis yang dikembangkan oleh ORNOP, ternyata tidak hendak tunduk ke dalam nalar gerakan sosial. Demikian, antara lain, gagasan yang berkembang dalam ‘Workshop Ahli Pengembangan Media Center PKBI DIY”, pada 5 April 2008, di Kantor PKBI Badaran, Yogyakarta.
Menyatukan Gerakan, Memandang HIV/AIDS dari Sudut Pandang Berbeda
Upaya membangun koneksitas antara gerakan HIV dan AIDS, gerakan perempuan dan gerakan HAM mulai menguat. Setidaknya, di Yogyakarta pada awal bulan Maret telah dilakukan diskusi panel untuk mengembangkan koneksitas ini, yang didukung oleh PBHI, PLIP Mitra Wacana, IHAP dan PKBI DIY. Sedang pada akhir bulan Maret, sebuah pelatihan dengan tajuk “Merespons epidemis HIV dan AIDS dengan perspektif gender, digelar pula. Kali ini dilakukan oleh Center for Health Policy and Social Change (CHPPS) yang melibatkan para pengambil kebijakan, baik di lembaga pemerintahan, LSM dan media massa. Sebegitu pentingkah koneksitas ini?
Komunitas Adalah Aktor Utama Advokasi
Media mainstream dipandang tidak cukup memadai untuk menyampaikan suara dan kepentingan komunitas. Tidak saja karena keterbatasan ruang yang tersedia, tetapi cara pandang pelaku media terhadap komunitas seringkali justru menjadi citra lebih buruk yang ditimbulkannya. Video komunitas kemudian menjadi salah satu alternatif yang diharapkan bisa menyuarakan kepentingan komunitas, selain untuk memposisikan komunitas sebagai aktor perubahan sosial.